Yuda.
Cowok tinggi dengan paras yang bisa dikatakan cukup rupawan itu berjalan ke kelas dengan entengnya dan langsung ke gerombolannya. Para siswa sudah terlihat biasa dengan perilaku 'Panca Berandal', begitu Rosa menamai lima cowok tukang rusuh itu. Tapi tidak dengan Aris, cowok itu langsung mendatangi Yuda dan empat orang temannya.
"Lo ngapa jam sembilan baru dateng? Ini udah jam pelajaran! Gendeng lo ya?!" tegur Aris.
Yuda tak menjawab, melainkan hanya menatap Aris lalu mengunyah permen karet.
Aris berang. Berkali-kali cowok itu mencoba tak peduli dengan perilaku teman-temannya, tapi sifat kepemimpinannya membuatnya selalu merasa bertanggung jawab atas kelas ini. "Rian, Joni, Ahmad, Agus, Yuda. Lo berlima ikut gue ke BK!"
"Njir! Tega amat lu sama temen." Rian tiba-tiba merangkul Aris sok akrab, "kita kan sohib."
"Sohib pala lu bitak kali. Berhenti main helm!" Aris meninggalkan mereka berlima lalu kembali ke kursinya. Sedangkan anak-anak cewek yang menonton mereka hanya bisa berdecak.
"Iye-iye," sahut kelimanya bersamaan.
Bila dilihat-lihat, Rian-lah ketua Panca Berandal. Cowok itu yang paling nakal, sekaligus kordinator kenakalan mereka.
***
"Hoaaahm."
Hari itu, kelima cowok yang biasanya lambat, datang sedikit lebih pagi.
Rian sudah berkali-kali menguap di jam pelajaran matematika. Selain karena kurang tidur kemarin malamnya, Guru yang mengajar pun membuatnya kurang antusias untuk belajar. Dan memang tak kan ada yang bisa membuatnya antusias.
"Kantin?" tawar Joni. Cowok itu sepertinya sudah hapal dengan kebiasaan Rian dan teman-temannya yang lain.
Rian membenamkan wajah pada buku-buku yang setengah terbuka. Percaya atau tidak, anak nakal seperti Rian dkk pun ingat membawa buku, karena ada peraturan : siapapun yang tidak bawa buku, harus di hukum lari keliling lapangan. Itu sudah jadi kesepakatan bersama.
"Yang lagi gue pikirin, gimana cara kita mau keluar berlima," sahut Rian enteng.
Joni tiba-tiba tersenyum lalu berdiri, membuat seluruh kelas menatapnya. "Bu, saya permisi mau ke toilet!" ucap Joni sembari menyenggol Rian.
Bu Eni langsung berbalik. "Silahkan, Joni. Tapi..."
Rian langsung mengerti.
"Saya juga, Bu."Kini alis Bu Eni merapat, menjelaskan ada tanda tanya di kepalanya.
"Saya juga," timpal Agus.
"Hah?!" Guru Matematika itu mulai memijit pelipisnya. Sementara anak-anak lain mulai terkikik.
"Saya juga mau ke tolilet." Yuda ikut-ikutan.
"Saya juga," ucap Ahmad lalu nyengir.
Jedar!
Sebuah penggaris yang patah ketika mengenai kursi membuat mereka berlima saling tatap.
Para siswa lain malah terpingkal-pingkal seakan yang barusan terjadi sangat menggelitik mereka, apalagi membayangkan cowok yang akan ke kamar mandi berlima yang menurut mereka sangat menggelikan.
"DIAM! Siapa suruh kalian ribut?!"
Kini semua anak malah saling tatap dan sok polos menundukkan kepala.
"Kalau lima anak itu masih disini," Bu Eni menunjuk Panca Berandal dengan penggaris yang patah, "jangan harap saya masih mau mengajar di kelas ini. Pelajaran saya sudahi."
Bu Eni meninggalkan kelas yang kini ribut oleh siswa yang saling tuding dan menyerukan 'Elo sih!' secara bergantian.
***
An :
Hai!
Oke, gue tau 'hai' itu mainstream gila buat sapaan*oke abaikan.
Ini short story kedua gue, udah di cek berkali-kali tapi pasti masih aja ada typo atau kesalahan EYD--eh EBI yang kelewat. Mohon bantuannya ya kalau ada typo, bisa inline komen di paragraf. Makasih.
KAMU SEDANG MEMBACA
Seatmate.
Short Story(Completed) Start : 6 November. #5 seatmate #1 Rokok *** Runtuhlah langit bagi Rosa saat dipasangkan duduk dengan salah satu cowok biang onar di kelas. Tapi, bukankah hal yang kita benci tak kan selamanya menjadi yang tak kita sukai?