Hari jumat yang santai, membuat Panca Berandal memiliki kesempatan berkumpul, sambil merokok pada jam istirahat. Ah, bukan Panca Berandal, karena Yuda tak bersama mereka.
Pucuk dicinta, Yuda pun tiba. Keempat cowok itu mengernyit dibuatnya, pasalnya sejak pertengkaran mereka cowok itu jarang ikut berkumpul.
Baru saja Agus hendak buka suara, Yuda memotongnya usai menghela napas panjang berkali-kali. "Gue kayaknya beneran suka deh sama Rosa."
Keempat temannya bersitatap.
***
"Lo kenapa nggak jujur dari dulu, kita nggak pernah ngelarang lo suka sama siapapun. Gue udah tahu dari Agus, lo sampe berhenti ngerokok demi dia, dan kita nggak maksa lo ngerokok, kita nerima lo asal lo emang masih mau temenan sama kita. Dan sebenernya kita udah nunggu lama buat lo bilang itu ke kita, dan ke Roshita."Ia teringat penjelasan panjang Rian yang sukses membuatnya tercengang.
Yuda kini sedikit menoleh dan mendapati teman-temannya sedang tersenyum ke arahnya sembari mengerling. Cowok ini adalah tipe orang yang sangat pandai menyembunyikan ekapresi.
Rian bahkan mengepalkan tangan ke udara, seakan menyemangati Yuda.
Melihat dukungan teman-temannya cowok itu menarik napas.
"Rose!"
Panggilan dari Yuda sukses membuat Rosa yang awalnya sibuk mengerjakan tugas-karena guru tak masuk--menoleh.
"Kenapa?"
"Lagi apa?"
"Ya lagi buat tugas lah, kenapa sih lo? Rada aneh gitu," ucap Rosa.
"Bisa sambil gue tanya-tanya?"
Rosa mengernyit namun tak mengalihkan pandangan dari buku. "Sejak kapan lo nanya harus minta ijin dulu? Ya udah tanya."
"Oh. Lo suka cowok yang kaya gimana?"
Boom! Rosa seperti diterjunkan bebas dari mercusuar. Sejak kapan Yuda jadi cowok yang...begitulah? Jujur sejak kajadian di perpustakaan, Yuda yang sudah aneh jadi bertambah aneh di mata Rosa.
Gadis itu mati-matian menahan tawa. "Yhaa, yang pinter sih kayaknya, nggak masalah ganteng apa enggak, yang penting tulus dan..." Rosa memikirkannya sejenak, "enggak ngerokok mungkin ya," lanjutnya ragu.
"Ohh." Yuda mengulum senyum. Ini saatnya! "Jadi lo suka yang model Aris gitu, ya? Kan pinter tuh dia."
"Aris?" Rosa mengernyit. "Dia masuk kriteria, sih. Tapi gue biasa aja kok sama Aris. Hah, topik macam apa ini?" Tak ayal gadis itu tertawa.
"Oh."
"Please, Da. Lo ngomong 'oh' mulu dari tadi."
"Kalau kaya gue ada toleransi, gak?"
Saat itu juga Rosa merasakan darahnya berdesir hebat ke kepala, terutama pipi. Gadis itu terbelalak dan sontak menatap Yuda, meminta penjelasan. "Lo ngomong apaan, sih?"
"Ya, kalau misalnya ada cowok yang kaya gue, mantan perokok, baik hati dan tidak sombong, tapi nggak pinter, pengen ngedeketin lo, bisa nggak kira-kira?" Yuda berkata dengan polosnya, tak tahu saja bila jantung Rosa kebat-kebit mendengarnya. Apalagi ini di kelas, bila ada yang mendengar pasti sangat memalukan, astaga!
Sejujurnya Rosa tercengang, rasanya seperti berlompatan di trampolin. "He, mm ya nggak tahu, kan belum ada. Ish, ngomong apaan sih lo? Makin nggak jelas." Gadis itu mulai menggaruk tengkuknya, salah tingkah.
"Oh, perlu diperjelas? Jadi gini, gue pengen deketin lo, bisa nggak?"
"HAH?!"
"Tuh, kan 'Hah'. Mau jelas mau enggak tetep aja lo nggak ngerti. Bisa apa enggak?"
"Yaa nggak tahu, coba aja, siapa tahu bisa," ujarnya makin lama makin pelan.
Yuda mengulum senyum simpul. "Pasti bisalah." Cowok itu tersenyum tengil.
***
Cie Yuda ciee *plak!
KAMU SEDANG MEMBACA
Seatmate.
Short Story(Completed) Start : 6 November. #5 seatmate #1 Rokok *** Runtuhlah langit bagi Rosa saat dipasangkan duduk dengan salah satu cowok biang onar di kelas. Tapi, bukankah hal yang kita benci tak kan selamanya menjadi yang tak kita sukai?