6. Peduli

537 44 2
                                    

"Bego banget si Yuda. Harusnya kalau cuma kejadian gini, bisa dihindarin," ucap Ahmad seraya menggeleng-gelengkan kepala dengan prihatin melihat temannya dihukum.

Joni mengangguk setuju. "Kaga ada susahnya kalau cuma bawa buku. Tau juga Bu Seti galak gitu. Eh, semua guru galak kalau sama kita."

Rian bersidekap dan memincingkan mata ke arah Yuda yang dihukum berlari mengelilingi lapangan 15 kali. Hampir dapat dipastikan, jika bukan salah satu dari Panca Berandal, hukumannya akan jauh lebih ringan.

Bel istirahat memang telah berbunyi, tapi Yuda masih menjalani hukumannya dengan ditonton satu sekolah. Namun, jangan harap cowok macam dia bisa peduli.

Cowok itu menyeka keringat dengan tangan dan membuat beberapa anak perempuan menjerit. Yuda memang tak cukup tampan dan terkenal untuk jadi most wanted, ditambah lagi dengan kelakuan buruknya. Tapi sebagai cowok yang 'lumayan', tak sedikit perempuan yang menambatkan hati padanya.

"Nggak!" Rian tiba-tiba bersuara pelan.

Alis Ahmad berkerut. "Apanya yang 'nggak', Yan?"

"Tuh anak kemaren nginep rumah gue, dan gue liat sendiri dia masukin buku-bukunya. Inget banget gue." Rian memutar otak, "pasti ada yang aneh sama tuh anak."

Agus yang sedari tadi enggan berkomentar masih berkecamuk dalam batinnya sendiri.

'Apa yang gue liat di kelas itu beneran Yuda? Aneh tuh bocah.'

Sementara itu di tempat yang berbeda, seorang gadis berlesung pipi tengah menggigiti kuku jarinya dengan cemas.

"Lo kenapa aneh gitu?" Dita mengernyit melihat sahabatnya yang bertingkah kurang wajar, "jangan bilang lo peduli sama Yuda?!" tuduhnya asal.

"Dia kenapa bisa dihukum? Dan..." Dita mengangkat bahu sahabatnya, "ini mata kok sembab gini? Cerita dong!"

Jari-jari Rosa kini turun dan meremas tangan Dita. "Harusnya hukuman itu gue yang jalanin."

"Hah?! Lo ngelakuin kesalahan fatal dan dia ngorbanin dirinya buat lo?"

"Ck!" Rosa menatap dengan sinis, "lo kebanyakan nonton sinetron, ya?"

"Salah, dong?"

"Enggak sepenuhnya salah, sih." Rosa memutar otak mencari kata-kata yang dirasa pas. "Gue kan begadang kemarin, jadi bangunnya siangan. Biasanya abis belajar, gue masukin buku ke tas, tapi tadi malem gue..."

"Lupa?" tebak Dita, "jangan bertele-tele, gue tahu lo ceroboh tingkat dewa. Langsung ke inti!"

Rosa menghela napas panjang. "Fiyuh, dia ngasih gue buku dia. Katanya 'gue biasa dihukum. Lo enggak'. Ssst! Jangan teriak!" Rosa memperingati Dita yang sudah membuka mulutnya. Otomatis Dita menutup mulutnya sendiri agar teriakannya teredam.

"Gue juga berasa aneh. Kesambet apaan tuh anak?"

"Ssst sstt...dia tuh!" Dita melirik ke sebelah kanan Rosa.

"Emang," jawabnya tak acuh.

Dita mencubit ringan lengan sahabatnya. "Bilang makasih atau apa kek. Gue yakin dia jarang nolong orang, makanya kalau lo di tolong tuh hargain."

"Mumpung doi gak sama gerombolannya. Sana!" Dita mendorong ringan punggung sahabatnya.

Ragu-ragu Rosa menghampiri cowok yang duduk tak jauh darinya sembari menggigit kukunya.

Rosa hanya berdiri di hadapan Yuda, sementara cowok itu hanya memainkan ponsel seakan tak ada siapapun disana.

"Yud?"

"Panggil gue 'da'," ujarnya tanpa mengalihkan pandangan dari ponsel.

"Makasih."

"Ga masalah," ucapnya yang lagi-lagi tak beralih dari ponsel.

Rosa mengernyitkan dahinya, bingung.

"Lo nggak pa-pa di hukum?"

Yuda tiba-tiba berdiri, hingga Rosa otomatis memundurkan tubuhnya. Gadis itu harus mendongak jika ingin melihat wajah Yuda, karena tingginya hanya sebatas dada cowok itu.

"Udah gue bilang, gue udah biasa di hukum. Awas!"

Cowok itu meninggalkan Rosa yang ternganga di pinggir lapangan.

"Itu orang kepribadian ganda atau apa? Ngeselin parah," rutuknya.

***

Seatmate.Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang