"Pusing banget gue di kelas, Dit," ungkap Rosa kepada Dita, "mana gue bakal tiga tahun sama mereka. Bayangin aja nih Dit, gak ada guru yang tahan jadi wali kelas gue."
Tadi seusai jam pelajaran Geografi, Rosa langsung menyeret Dita dari kelas 10 IPA 3 menuju depan UKS--markas curhat mereka.
"Lo mah enak, anak di kelas lo kalem-kalem. Yang cowok baik, yang cewek nggak terlalu cantik. Di kelas gue, nih, gue yang paling jelek."
Dita hanya mendengarkan cerita sahabatnya dengan saksama sambil sesekali tersenyum.
Pernyataan Rosa setengah benar, setengah salah. Ia memang tak punya banyak kualitas perempuan dikatakan cantik di sekolah ini, yaitu : rambut panjang terurai, kulit putih, tinggi, dan tubuh dengan lekuk sempurna. Sebagai orang yang berkulit sawo matang dan mungil, Rosa mempunyai keunggulan tersendiri yaitu senyumnya yang begitu manis dengan lesung pipi yang menghiasinya.
"Syukuri apa yang ada, Beb. Ntar kalo udah setahun dua tahun juga betah. Bisa-bisa malah kangen sama temen sekelas lo kalo udah lulus."
Rosa mengangkat bahu. "Nama gue Roshita Priyana, gaada unsur 'Beb' nya sama sekali," candanya.
"Oke, 'Roshita' ya? Kalo gitu mulai sekarang gue panggil lo 'Shit'." Dita memamerkan deretan giginya pada gadis di sebelahnya.
"Edan!" seloroh Rosa.
"PAK, KALAU KITA DATANG LAMBAT, KAN GAADA RUGINYA BUAT BAPAK!"
Teriakan yang sepertinya berasal dari kelas Rosa membuat dua cewek yang sedang menggosip itu tersentak.
"Lo denger suara itu kan? Kalo sampe engga denger, lo yang harus ke THT, atau gue yang harus ke dukun?" Dita mengoceh tak penting.
Rosa tidak menjawab, melainkan mendengarkan dengan saksama dan mengisyaratkan temannya agar diam.
"Jadi gini, Pak. Kita damai ya, ini saya ngomong baek-baek, bapak jangan esmosi dulu."
"Emosi kali, yan!"
"Beda dikit. Jadi kita kemarin begadang, tugas banyak, Pak."
"Ck!" Rosa tiba-tiba memijit pelipisnya, "Ini sih suara Rian dkk! Padahal tadi mereka gak sekolah," gumamnya.
"Rian ketua Panca Berandal yang lo ceritain itu?" Kening Dita berkerut-kerut menandakan kebingungan.
Rosa yang tadinya memijit pelipis, kini menatap temannya lekat. "Yang gue tahu, sekarang perasaan gue gak enak."
"Nonton yuk! Bakal seru kayaknya."
"Ogah ah. Gue ngeri nonton begituan. Takutnya mereka dihukum lagi, gue cepet kasian."
"Oh, jangan-jangan lo suka sama salah satu dari mereka? Makanya takut mereka dihukum." Dita tiba-tiba menuduh asal lalu menaik-turunkan alis.
Rosa membulatkan matanya. "Ngaco lo!"
"Oh yaudah nonton!"
***
Rosa menggamit tangan sahabatnya dengan kuat melihat teman-teman sekelasnya berdebat dengan guru Geografi. Sang Guru baru yang berusia 22 tahun dengan emosi yang mudah meledak, sedang dipancing oleh lima cowok bangor. Siapa yang tidak tegang?
Para siswa sudah berdesak-desakan hendak menonton. Perdebatan yang makin lama makin panas itu ternyata dipicu oleh Yuda, Rian dan Ahmad yang terlambat sekolah.
"Kita kan udah ada itikad baik buat sekolah, Pak," bela Yuda, "kalau alpa itu buat orang yang gak sekolah tanpa keterangan."
"Betul!" sahut empat teman lainnya.
"Kalian sudah mulai kurang ajar sama guru." Pak Budi menyentil telinga Rian, "ga tau sopan santun! Sudah salah masih berulah!"
Rian mengelus telinganya yang memerah dengan hiperbola. "Eh, bapak bisa saya laporkan atas kekerasan di sekolah, loh!"
"Kamu bisa saya laporkan ke kepala sekolah biar kamu di keluarkan!"
"Pak, kita toh cuma lambat sekolah, ya toh? Bukan pake narkoba, ya kan toh? Mana bisa di keluarin dari sekolah." Ahmad asal bunyi dan malah memperburuk keadaan.
"Mau kalian apa, sih?!"
"Oh sederhana, Pak. Kita kan hadir, jadi harusnya di absen, jangan alpa."
Rosa menutup wajahnya dengan telapak tangan.
Dita yang melihatnya hanya terkikik geli. "Kayaknya lo bakal ganti wali kelas lagi, Sa."
"Mungkin lebih buruk. Gue gak bakal punya wali kelas."
***

KAMU SEDANG MEMBACA
Seatmate.
Historia Corta(Completed) Start : 6 November. #5 seatmate #1 Rokok *** Runtuhlah langit bagi Rosa saat dipasangkan duduk dengan salah satu cowok biang onar di kelas. Tapi, bukankah hal yang kita benci tak kan selamanya menjadi yang tak kita sukai?