13. What the 'H'??!

33 5 0
                                    

*Chandra*

Sebodoh-bodohnya aku waktu kuliah dulu, aku belum pernah mendapatkan nilai D, apalagi E! Jadi kebodohanku masih rata-rata. Aku paham soal perpajakan, meski bukan ahli. Semua perhitungan pajak toko ini yang aku kerjakan, aku yakin kalo itu benar. Tapi siang ini, boss seolah murka dengan angka yang harus di bayarkan ke pemerintah.

Meski ada kursi di depan meja, aku memilih berdiri, tertunduk dan fokus pada lembaran kertas di atas meja yang sedang dipelototi pak Peter.

"Ini apa, Chan?! Apa?!" Kalimat yang sama, dan sudah diucapkan berkali. Lelaki berwajah oriental itu membentakku sambil memukul-mukul meja. Tepatnya, menggedor-gedor laporan yang aku buat, yang kini berada di hadapannya untuk di koreksi.

"Saya rasa itu sudah benar, pak." Aku berkata pelan. Menguntarakan pembelaan.

"Benar kepalamu!! Kalo ini benar aku gak marah gini liat angkanya. Segini banyak yang aku bayar? Kamu pikir aku gak bakal bangkrut?!..... Kamu bilang kamu pernah kerja di kafe, tapi kok gak becus gini?!"

"Saya manajer, Pak, bukan konsultan pajak. Tapi saya paham soal pajak."

"Kalo kamu ngaku paham soal pajak, seharusnya kamu tau berapa yang harus kamu tulis di situ, untuk pajak yang aku bayar. Lalu apa gunanya kamu meeting sama Hardiman kemaren kalo kamu masih bikin ginian."

Haruskah aku cerita ke pak Peter, boss ku, kalo sebenarnya yang aku lakukan pada saat meeting dengan orang pajak, hanya sekedar jadi kambing congek, nemenin Andra dan pak Hardiman pacaran?!

Sebaiknya untuk hari ini saja, aku diam berpasrah menerima kemurkaan boss. Mengingat aku orang baru dan masih begitu buta tentang dunia kerja.

Hasil kerjaku di lempar di depanku. Harga diriku runtuh! Ku pungut satu per satu kertas berisi deretan angka yang membuatku sakit kepala ketika membuatnya. Boss menganggap itu hanya tumpukan sampah. Sakit rasanya!

"Kamu tanya sama Andra apa kesalahan kamu! Aku gak perlu jelasin! Di gaji mahal tapi kok kerja gak karuan!"

Mahal dia bilang! Uang jajanku saja lebih dari apa yang akan dia berikan. Belum pernah setunduk ini aku sama orang lain. Sekali lagi, pemahaman hidup yang perlu dihadapi, bahwa uang selalu memegang kendali. Seandainya saja lelaki di depanku itu tak punya aset milyaran, mungkin dia tak akan seangkuh ini.

Sabar, Chan! Ini ujian.

Masih tertunduk lesu, aku keluar dari ruangan pak Peter. Mentalku jatuh. Makian selalu mendatangkan trauma dan bisa membuat emosiku teraduk dengan mudah. Apa dayaku yang cuma karyawan biasa?

"Pagi-pagi sudah sarapan omelan ya, Chan?" Pak Fatur yang meja kerjanya di sebelahku persis, menegurku, ketika melihatku melintas di depan meja kerjanya dengan wajah muram.

Aku tersenyum getir, "iya, Pak. Katanya hitungan saya salah. Padahal menurut saya, semua ini sesuai dengan apa yang saya dapat di perkuliahan."

"Kamu terlalu polos, Chan. Pantesan kena marah..... Siang ini makan siang di mana?" Selorohan pak Fatur, menyebut kata 'polos' membuatku berpikir.

Apa hubungan makan siang dan omelan boss? Penuh teka-teki kerja di sini.

"Kan saya bawa bekal. Jadi ya gak kemana-mana. Abis sholat, saya makannya di sini kok, Pak."

"Sekali ini, kita makan di luar. Aku traktir deh. Ntar aku ajarin kamu cara kerja yang bener."

Angin segar. Serasa buka google map ketika tersesat di suatu tempat yang tak berpenghuni. Beruntung pula signal begitu kuat. Seperti itu rasanya mendengar omongan pak Fatur. Lelaki senior yang umurnya sebaya pak Peter.

Brogan Kesayangan NunaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang