14. Aku tidak ragu, hanya sedikit malu

34 3 0
                                    

*Nessa*

'Jari sosis' itu terasa lemah dalam genggaman lembutku. Aku menatapnya dengan mata berkaca. Mengingat bagaimana ekspresi kesakitannya semalam, hatiku ikut nyeri. Sekarang dia begitu tenang, dalam sisa pengaruh anestesi. Meski tadi sempat bangun sebentar, sekedar ngomong kalo dia baik-baik aja, dan ngelarang aku menjadi begitu cemas.

Ibu jariku bergerak lembut di atas punggung tanggannya. Sementara mataku masih lekat menatap wajah gantengnya yang masih terlihat pulas.

"Kamu kenapa ga bangun-bangun? Aku udah kangen!", ucapku lirih disertai lelehan airmata. Rasa takut ini begitu menyiksaku. Berlebihan memang. Tapi itu yang aku rasain.

Gimana kalo Chandra bakalan lama sadarnya? Gimana kalo ada masalah pasca operasi? Gimana kalo kondisinya justru memburuk?

Meskipun dokter udah bilang kalo operasi berjalan lancar dan tinggal nunggu Chandra bangun, tapi sebelum dia beneran bangun, aku masih akan terus disiksa rasa takut.

Saat itulah aku sadar, kalo aku sudah beneran ketergantungan ama Chandra! Aku ga akan pernah rela kehilangan dia. Dan bersedia menerima segala kekurangannya. Apapun itu bentuknya.

"Still sleep?", teguran lirih dari belakang, berhasil ngebuat aku sedikit berjingkat. Hampir aku melupakan keberadaan cowok tinggi berkacamata minus yang sedari tadi tenggelam dengan ipad-nya di pojokan kamar.

"Yeah," aku menjawab singkat, sebelum kudongakan kepalaku untuk melihat kearahnya yang memang sedang berdiri disebelahku. "Starving? Wanna something to eat?"

"No, thanks!"

Penolakan dari bibirnya, tak diiringi dengan keinginan cacing di perutnya. Tepat setelah dia menjawab 'tidak', jelas kupingku mendengar gemuruh dari perutnya. Aku tersenyum, dan diapun tersipu, sembari menggerutu dalam bahasa Korea, yang entah apa artinya.

"Ga usah senyum-senyum gitu! Aku bisa cemburu," teguran Chandra dengan suara serak membuat senyumku makin lebar. Dia sudah bangun. Kalo aja ga ada kakaknya, mungkin aku sudah berjingkrak saking senangnya.

"Kamu udah bangun? Masih sakit?!"

"Sakitnya pindah..... Sekarang ganti hatiku yang sakit."

"Kok gitu?"

"Abis aku ngeliat Nuna senyum-senyum genit ama dia."

"Tenang aja. Itu senyuman palsu!" Sengaja aku meringis, memperlihatkan deretan gigiku, dan aku sangat yakin itu senyuman terburuk yang aku punya.

"Hahaha....jelek banget sih!", antara tertawa dan menyeringai menahan nyeri, ekspresi Chandra ngebuat aku berhenti tersenyum.

"Ehheemm...", cowok di sebelahku berdehem. Lagi-lagi aku mengabaikan keberadaannya.

Mungkin ini saatnya aku mengalah, memberikan kesempatan pada kakak beradik beda kewarganegaraan itu untuk bicara berdua. Sejak datang, si kakak belum sempat ngobrol serius dengan si adek, dikarenakan kondisi si adek yang lagi sakit, pas si kakak datang.

"Chan, aku tinggal pulang bentaran ya. Kafe belum keurus dari kemaren," bisikku di telinga kanannya. "Abis nutup kafe, aku balik lagi."

Wajahnya terlihat kurang suka, tapi bibir pucatnya berusaha tersenyum. Mungkin dia ngijinin aku pergi hanya karna dia ga mau aku nganggap dia sebagai beban. Apalagi aku udah bawa-bawa kafe, yang memang sumber mata pencarianku.

Sebelum aku makin tertahan melihat wajah sendunya, selain karna aku memang masih rindu, aku cepat-cepat berdiri, melempar senyum yang kali ini aku yakin banget itu senyuman cantik, lalu bergegas keluar. Tentu saja aku juga nyempetin senyum cantik ke si kakak. Cuma level cantiknya diturunin dikit.

Brogan Kesayangan NunaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang