BAB 7

38 3 1
                                    

Malam harinya...

Gia sedang memandang foto dirinya dan Gio. Dia hanya bisa menghela nafasnya. Tiba tiba hapenya berdering. Dia melihat hapenya. Lalu mengangkatnya.

"Ya.. Ada apa Gio?"

"Lo ada waktu. Soalnya kan besok itu libur." ucapnya.

"Emangnya mau ngapain?"

"Lihat keluar jendela lo deh. Lihat kebawah ya..."

Gia membuka jendelanya. Hawa dingin angin malam masuk ke dalam kamarnya. Lalu dia langsung memandang ke bawah. Gio pun melambaikan tangannya. Gia membalas dengan melambaikan tangannya juga.

"Ya. Gue lihat lo."

Gio tersenyum. "Oke. Gue mau ajak lo makan sate di taman."

Gia terdiam.

"Yaudah deh kalau gak mau. Gak apa-apa juga sih." ucap Gio.

"Ya deh. Gue mau." jawab Gia.

Gio yang diseberang pun tersenyum. Dan menunjukkan tanda oke. Gia segera mematikan hapenya dan bergegas ke bawah.

Di taman.

Mereka sedang duduk di tempat tukang sate. Menunggu pesanannya. Gia pun membuka pembicaraannya.

"Jadi... ada gerangan apa sampai lo ngajak gue makan?" tanya Gia.

"Gue cuma mau kasih tau lo sesuatu." jawab Gio.

"Apa?"

"Oh.. pesanannya datang." ucap Gio.

Abang tukang sate meletakkan dua porsi sate. Lalu dia pun pergi.

Gio langsung mengambil satu porsi sate itu. Gia pun melakukan hal yang sama. Lalu mereka makan dengan tenang.

Setelah selesai, mereka mengobrol kembali.

"Jadi...?" tanya Gia.

"O.. itu. Gue udah pacaran sama Tiwi." jawab Gio sambil tersenyum senang.

Gia menunduk menatap minumannya diam. Gia gak habis pikir dengan jalan pikiran Gio. Jelas jelas Tiwi itu playgirl masih aja mau. Sebenarnya Gia sendiri bingung dengan jalan pikiran Gio.

"Makanya, karena itulah gue traktirin lo kali ini." ucapnya.

Gia menatap Gio. "Jadi, beneran kalian itu memang jadian. Oh.. Selamat ya Gio." ucap Gia.

"Makasih." jawab Gio sambil menatap Gia.

Gia pun tersenyum terpaksa.

"Oh ya, Gia. Mulai besok kayaknya gue gak berangkat bareng deh sama lo. Soalnyakan gue bakalan jemput pacar gue. Mungkin juga seterusnya." ucap Gio.

Gia mengangguk. Tapi, dalam hatinya dia cukup sakit mengetahui kenyataan seperti itu. Dia bertekat mulai besok, dia gak akan mengganggu kehidupan Gio dengan pacarnya.

Gio membayar makanan mereka. Setelah itu mereka pun keluar dari tempat itu.

Gia dan Gio pulang menuju rumah mereka. Gia menatap langit yang indah. Bulan yang menerangi jalan mereka. Bintang yang seakan menambah kesan bahagia. Tapi, bahagia hanya milik salah satu dari mereka. Yaitu Gio. Gia hanya menghela nafasnya.

"Lo gak marah, Gia?" tanya Gio tiba tiba.

Gia menatap Gio. "Marah sama siapa?" tanya Gia balik.

"Gue." jawab Gio.

"Maksud lo?"

"Lo gak marah gue pacaran sama Tiwi. Lo kan gak suka dari awal sama dia. Gue pikir lo bakalan marah sampai teriak teriak. Eh.. ternyata meleset dari perkiraan gue." ucap Gio sambil terkekeh.

"Ngapain juga gue marah. Lo berhak kali pacaran sama siapapun. Gue inikan hanya memberi saran dan nasehat. Sebagai sahabat yang baik. Bukan begitu?" tanya Gia.

"Iya. Lo memang sahabat terbaik gue. Lo itu berharga banget buat gue. Lo sahabat sejati gue. Saat gue sedih lo menghibur gue walaupun gak lucu sih tapi gue hargai. Saat gue susah belajar lo ada untuk gue. Jadi...Intinya adalah lo selalu ada untuk gue. Gue berharap selamanya lo itu selalu ada untuk gue, Gia." ucap Gio.

Gia pun tersenyum menatap Gio. Dia gak pernah berpikir seberharga itu dirinya bagi Gio. Dia sadar sekarang untuk bersama Gio sebagai pasangan kekasih hanyalah mimpi yang tak pernah jadi kenyataan. Tapi Gia selalu berdoa agar Gio mendapatkan jodoh yang baik.

Tiba tiba air matanya tumpah. Lalu dia mengusapnya dengan tangannya. Gio terkejut melihat Gia menangis. Dia menatap wajah Gia yang menangis. Gia perlahan lahan menghusap air mata itu.

"Kenapa nangis? Gue salah ngomong ya?" tanya Gio khawatir.

Gia langsung memeluk Gio erat. Gio membalas pelukan Gia. Dia mengelus kepala Gia dengan lembut. Lalu setelah Gia tenang, Gia menatap Gio.

"Gue baru sadar. Kalau gue seberarti itu untuk lo. Gue nangis karena gue bahagia. Bahagia melihat lo bahagia. Hanya itu." ucap Gia sambil tersenyum.

"Hem.. gue pikir kenapa. Oh ya Gia?"

"Apa?"

"Untung aja lo nangisnya gak kuat kuat. Kalau enggak, gue bakalan dihajar sama orang gara gara bikin anak orang nangis." ucap Gio.

Gia langsung memukul lengan Gio. Gio pun tertawa. Gia juga tertawa. Lalu Gio merangkul Gia. Gia tersenyum.

"Gio... misalnya gue punya pacar lo marah gak?" tanya Gia.

Gio menatap Gia. "Emangnya siapa?" tanya Gio balik.

"Ih... misalnya loh. Marah gak?"

"Hem... gue harus lihat dulu orangnya, Gia. Kalau cocok buat lo, oke. Tapi kakau enggak, ya... enggak. Intinya sih yang penting lo bahagia." jawab Gio.

"Oke deh. Kapan-kapan gue emang harus cari pacar." ucap Gia.

Gio hanya tersenyum. Gia pun tertawa. Mereka  melanjutkan perjalanan mereka.

###

Vote dan komentarnya ya...

Gio dan GiaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang