"Tentang aku yang mendekatimu, semuanya ini palsu. Ini hanyalah sebuah taruhan. Aku peduli padamu. Tapi aku rasa kau tidak pernah peduli padaku."
Jennifer langsung membuka matanya dan terduduk. Lagi. Perkataan laki-laki itu lagi-lagi datang dalam mimpinya.
Jennifer menghela napas dan memukul-mukul kepalanya.
"Kenapa? Kenapa kau selalu memimpikannya, Jennie?" Jennifer berkata pada dirinya sendiri.
Hari ini adalah hari terakhir Jennifer menginap di rumah bibinya di Los Angeles.
Jennifer sangat nyaman tinggal disini. Dirinya paling benci dengan yang namanya 'sendirian'. Dan saat dia kembali nanti ke New York, dia akan 'sendirian' lagi. Dimana orang tuanya? Orang tuanya meninggal 10 tahun yang lalu.
Dia adalah anak tunggal. Dia tidak punya siapa-siapa lagi selain bibinya.
Merenung memikirkan kejadian saat dirinya melihat orang tuanya sekarat, membuat matanya mulai berkaca-kaca.
"Jennifer!" Lamunan Jennifer terpecah oleh panggilan bibinya dari luar pintu kamarnya.
"Iya, Auntie." Jennifer berjalan turun dari tempat tidurnya, membuka pintu dan memeluk bibinya.
"Selamat pagi, Jen. Bagaimana tidurmu semalam?"
"Tidak sebaik itu." Jennifer mengangkat kedua pundaknya.
"Tenang saja, Jen. Semua akan baik-baik saja." Bibinya memeluknya.
"Aku sudah membuatkanmu sarapan pagi. Ayo, sekarang kita makan." Jennifer mengangguk, berjalan bersama dengan bibinya ke meja makan.
Mereka menghabiskan sarapan bersama sambil bercakap-cakap, berhubung dirinya akan pulang hari ini.
"Jadi, pesawatmu pukul berapa?"
"12 siang. Aku akan segera bersiap-siap setelah ini, Auntie."
"Baiklah. Sekarang kau bersiap-siap, aku pun juga. Aku akan mengantarmu ke bandara."
"Tidak usah, Auntie. Aku bisa..."
"Aku akan mengantarmu, Jen. Jangan berkeras kepala."
"Baiklah." Jennifer tersenyum sekali lagi pada bibinya sebelum berjalan pergi ke kamarnya.
***
"Oh, Jennifer. Aku akan sangat merindukanmu. Lebih sering datang kesini, darling." Bibinya terus memeluknya, seakan-akan tidak rela untuk membiarkannya pergi.
Dia pun juga betah saja tinggal disini, tapi banyak yang harus diurusnya di New York.
"Auntie, aku akan segera datang kesini. Aku juga pasti merindukanmu disana. Jaga diri baik-baik, Auntie." Jennifer memeluk bibinya erat.
Bibinya hanyalah satu-satunya yang dimilikinya.
"Oh, aku rasa itu panggilan untukmu, darling. Aku rasa kau harus masuk sekarang. Hati-hati di jalan." Bibinya melepas pelukannya dan Jennifer mengangguk.
Sebelum dia benar-benar masuk ke dalam, dia menoleh ke belakang dan melambaikan tangan pada bibinya, dibalas dengan senyuman oleh bibinya.
Senyuman itu mengingatkannya pada senyuman ibunya. Betapa Jennifer sangat merindukan orang tuanya.
Jennifer membalikkan badannya kembali dan mengusap air mata yang sudah jatuh ke pipinya. Entah mengapa hatinya terasa tertusuk.
Rasa rindunya terlalu besar.
'Semuanya akan baik-baik saja, Jennie.' Jennifer berkata-kata dalam hati.
Jennifer menunggu beberapa saat dan saatnya untuk masuk ke pesawat sudah tiba. Jennifer berdiri dari kursi yang didudukinya dan melihat keluar jendela besar disana.
'Selamat tinggal, Los Angeles.'
***
Jennifer mengantri untuk masuk ke dalam pesawat. Orang-orang masuk satu per satu, mencari tempat duduknya.
Saat dia melewati kursi business class, ada sesuatu yang dia lihat. Dia bertatapan dengan orang yang tidak ingin dilihatnya lagi. Tidak. Bagaimana semuanya ini bisa terjadi?
"Apa kau Jennifer Thompson?" Jennifer mengalihkan pandangan matanya, pura-pura tidak melihat orang itu.
Entah mengapa mengantri terasa jauh lebih lama. Dirinya benar-benar terjebak disini.
Sekarang Jennifer bisa melanjutkan langkah kakinya menuju ke kursinya, karena orang-orang di depannya sudah menemukan kursi mereka dan duduk. Sekarang dia harus berjalan ke belakang untuk mencari kursinya.
Dan saat itu, dia mendengar bunyi 'klik' yang berasal dari pintu toilet. Detik itu juga, Hatinya terluka kembali, untuk yang entah ke berapa kalinya.
"Jennifer?"
"Minggir." Jennifer berusaha menghindari tatapan mata laki-laki itu dan berusaha menerobosnya.
"Jennie. Kumohon."
"Diam." Laki-laki itu menghadangnya untuk lewat.
Jennifer berusaha untuk melepaskan pegangan tangan laki-laki itu pada puncak kursi dan dia berhasil. Tangan kanan laki-laki itu terlepas dari kursi dan dia segera pergi ke kursinya.
"Sir, kami minta anda untuk kembali ke tempat duduk anda. Pesawat akan segera lepas landas." Jennifer bisa mendengar laki-laki itu menggerutu dan dengan terpaksa berjalan ke depan, kembali ke tempat duduk di sebelah kembarannya.
***
Jennifer berusaha melupakan apa yang terjadi, dan inilah dia. Bagian yang sangat disukainya saat berada di pesawat. Mendapat tempat duduk dekat jendela adalah yang terbaik.
Dia bisa melihat awan yang begitu banyak menggumpal menjadi satu. Andai saja dia memiliki kesempatan untuk menyentuh awan.
Jennifer menikmati pemandangan langit yang begitu indah. Betapa dia menikmati melihat ciptaan Tuhan yang begitu indah ini.
"Jennie." Jennifer agak terkejut dengan suara laki-laki itu lagi. Dia pura-pura tidak mendengar suara laki-laki itu yang memanggilnya.
"Jennie." Suara laki-laki itu semakin dekat, tepat berada di sampingnya. Entah kenapa, kursi di sebelahnya kosong. Dia rasa sekarang keberuntungan tidak berada di pihaknya.
Sekarang laki-laki yang sudah tak dilihatnya selama 10 tahun itu muncul.
Dia bisa mendengar laki-laki itu menghela napas, mungkin sebal padanya karena dirinya tidak menganggap laki-laki itu sama sekali.
"Jennie, aku benar-benar..."
"Diamlah."
Jennifer bisa mendengar laki-laki itu menghela napas sekali lagi lalu laki-laki itu melangkah masuk dan duduk di sebelahnya.
Dia mengabaikan laki-laki itu. Mereka hanya duduk bersebelahan dan tidak bicara sepatah katapun.
Dia tidak mau peduli. Laki-laki itu jelas-jelas meninggalkannya. Dan sekarang tiba-tiba laki-laki itu datang dan mengajaknya bicara? Tidak semudah itu.
Laki-laki itu tak tau betapa hancurnya dirinya ketika kejadian itu terjadi. Dirinya benar-benar larut dalam kesedihan seorang diri.
Jennifer menyandarkan punggungnya pada sandaran kursi dan memejamkan mata. Jennifer tidak sadar bahwa dirinya bisa tertidur dalam pesawat.
Biasanya dia hanya akan memandangi langit melalui jendela, memikirkan sesuatu. Tapi sekarang dia tertidur, hal yang sangat langka terjadi pada dirinya karena dia tak mudah tertidur di tempat umum.
Di sisi lain, Emilio merenung sambil melihat perempuan itu yang kelihatannya tertidur. Perempuan ini berubah, rambutnya tidak lagi berantakan seperti dulu. Perempuan ini pun juga sudah tak menggunakan kacamata tebalnya. Perempuan di sebelahnya ini sudah berubah, dan hal itu membuatnya semakin menyukainya.
Next update: tomorrow 🏵
KAMU SEDANG MEMBACA
Lovely Bet [LS #2] (COMPLETED)
Storie d'amoreSepuluh tahun yang lalu, Emilio Bradley ditantang oleh saudara kembarnya, Edmund, untuk mendekati 'anak culun' yang ada dalam satu kelas dengan mereka. Emilio ditantang untuk membuat 'anak culun' itu jatuh cinta padanya hanya dalam waktu 2 bulan. Ap...