Rose

227 51 7
                                    

Koridor sekolah siang itu tampak sepi di beberapa sudut. Mayoritas penghuninya lebih memilih berkumpul di pinggir lapangan, guna menyaksikan pertandingan basket antar kelas. Beberapa lainnya bisa terlihat hanya berdiam diri dalam kelas, tak menaruh minat pada ajang yang diadakan pihak sekolah tersebut.


Netra Tiffany menangkap kegaduhan di tengah lapangan, kala salah satu pemain melakukan foul. Gadis itu hanya berlalu, tak mau memberi perhatian lebih.


Rencananya, ia akan pulang saja sebelum Seokjin—ketua kelasnya—memberikan alert agar tak meninggalkan kawasan sekolah sebelum pertandingan usai. Gadis yang tak menaruh minat pada bidang olahraga seperti dirinya bisa apa? Berdiam diri di kelas pun tak akan berguna, ia bisa mati kebosanan di sana.


Jadi, pilihannya jatuh pada perpustakaan yang sangat ia yakini tak banyak memiliki pengunjung hari ini. Beberapa novel lama sekiranya bisa ia baca guna menunggu pertandingan selesai.


Koridor yang panjang baginya itu hampir ia tapaki seluruhnya sebelum rungunya bereaksi pada sebuah panggilan.


"Tiffany!" ia reflek menoleh. Dari kejauhan, bisa gadis itu amati seorang Kim Suho berlari menuju arahnya. Tiffany tak begitu yakin sebenarnya, tapi ia seperti melihat tangan kanan Suho tengah membawa sesuatu.


Pemuda itu berhasil mempersempit jarak antara mereka. Dengan napas terengah, Tiffany masih bisa menangkap senyum teduh milik Suho.


"Ada apa?" ada jeda sejenak karena Suho masih mengumpulkan udara, berusaha agar napasnya kembali normal.


"Ini, untukmu."


Tiffany baru menyadari benda yang dibawa Suho kala pemuda itu menyerahkan padanya. Dua buah bunga.


"Mawar putih melambangkan ketulusan, dan mawar merah melambangkan kasih sayang."


Kim Suho bergantian memberikan bunga di genggamannya pada Tiffany. Sedang gadis itu, hanya terdiam menanti penjelasan atas maksud dari semua ini.


"Aku hanya ingin menunjukkan bahwa aku mencintaimu, dan perasaan ini tulus dari hatiku." ada kegugupan di sana. Tiffany berusaha memaklumi. Menyatakan perasaan memang tak semudah kelihatannya.


Gadis itu lantas tersenyum sembari menatap Suho.


"Kau orang yang baik Suho, tapi maaf." Tiffany menjeda sejanak kalimatnya.


"Aku tidak bisa." raut kekecewaan tersirat dalam air muka Suho. Kendati begitu, pemuda tersebut masih saja menampakkan senyumannya.


"Apakah kau sudah memiliki kekasih?" Tiffany menggeleng dengan cepat. Tangannya terulur untuk mengembalikan bunga pemberian pemuda itu.


"Tidak, tidak ada. Kau hanya tak mengerti situasinya." Suho tak lagi memaksa, meskipun rasa penasarannya begitu besar. Pemuda itu dengan besar hati kembali tersenyum.


"Baiklah, tidak apa-apa." Tiffany kembali menyerahkan bunganya namun ditanggapi gelengan kepala oleh Suho.


"Untukmu saja." dan selanjutnya, gadis itu bisa melihat Suho membalikkan tubahnya. Berjalan menjauh dengan bahu yang tak setegak tadi.


Tiffany kembali tersenyum dan menatap punggung Suho juga bunganya secara bergantian. Faktanya, gadis itu juga menyukai Suho. Tak ada yang bisa menolak pesona pemuda tampan itu sebenarnya, tak terkecuali dirinya.


Tapi Tiffany cukup tahu diri. Suho yang sempurna itu tak akan pernah pantas berdampingan dengannya.


Ia kembali memperhatikan bunga yang baru saja didapatnya. Bunga mawar putih yang akan selalu berwarna putih, dan bunga mawar merah yang akan selamanya berwarna....hitam baginya.


Ia mengambil napas sejenak sebelum kembali melanjutkan langkahnya menuju perpustakaan. Warna dunianya yang hanya hitam juga putih, tak akan bisa memberikan warna baru pada kehidupan Suho—


—selamanya tak akan pernah bisa.


FIN


kehilangan 'soul' buat ngelanjutin buku ini :(

NorepinephrineTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang