Memories

560 82 41
                                    

Kita saling menunggu
Untuk tahu siapa yang paling rapuh
Untuk tahu siapa yang akan menghubungi lebih dulu





Kuhela napas sebentar lantas menghirup aroma kopi hitam di tanganku. Masih sama, terasa sama dengan aroma yang sama. Bedanya, kau tak lagi di sini, untuk sekedar menemaniku berbincang.


Aku mulai bertanya pada malam kala kesepian mulai menghampiri, bagaimana kabarmu di sana? Lantas aku tertawa, kita sudah tak sedekat itu bukan? Untuk sekedar bertanya kabar. Untuk bisa saling menyatakan kerinduan.


Kusesap kopiku perlahan. Apakah masih pantas untuk berkata tentang rindu di sini? Atau jangan-jangan hanya aku yang mengalaminya? Ketahuilah, memiliki perasaan satu arah itu tak menyenangkan. Hanya menyakiti satu sisi saja.


Kembali pada realita, kita menjauh. Perasaan memudar. Dan mulai menghilang. Awalnya aku baik-baik saja dengan itu, melakukan kegiatan seperti biasanya, tak lagi memikirkanmu dan seolah terlepas dari beban tak kasat mata.


Tapi apa kau tahu? Namamu tetap menjadi hal terindah yang sudi kusebut kala kesepian malam tiba.


Dan perlahan mulai menyadari, berdiri tanpamu adalah ketidakmungkinan yang mutlak.




"Mau soda atau kopi?" dengan rambut tergelung asal-asalan, kau melongok ke dalam lemari pendingin. Aku hanya bisa duduk seraya mengamatimu, menopang dagu dengan senyuman seperti orang bodoh.


"Soda?" jawaban yang terkesan sebagai pertanyaan itu kau bungkam dengan menutup pintu lemari pendingin dan membawa dua kaleng kopi. Aku tersenyum melihatnya.


"Aku 'kan minta soda," kau duduk di hadapanku lantas mendorong sekaleng kopi ke arahku.


"Aku 'kan hanya bertanya, bukan berarti aku akan memberikannya. Soda itu tak baik untuk kesehatan, Sayang."




Aku merindukannya. Aku merindukan bagaimana kau melarangku meminum soda. Aku merindukan suaramu. Merindukan panggilan itu keluar dari mulutmu, sayang.


Bukan sebuah dosa 'kan merindukanmu?


Kulingkupi cangkir dengan jemariku. Mencoba mencari kehangatan guna menggantikan hangatnya genggaman tanganmu.


Dan percayalah, aku tak dapat menemukan kehangatan itu selain di genggamanmu.


Pandanganku kali ini tertuju pada pintu lemari pendingin, note-note yang kau tempelkan masih rapi berada di sana. Kata-kata penyemangat yang sayangnya menyakitkan bagiku. Bitter sugar, tak jauh seperti itu.Terlihat manis namun pada faktanya begitu getir.



'Hari ini kau konser 'kan? Kuharap kau tak melupakan makanmu. Jaga kesehatan. Dan jangan terlalu lelah. Aku mencintaimu.'


'Bagaimana kabarmu? Kuharap kau membaca ini. Enam bulan tak bertemu membuatku tak bisa memastikan bagaimana keadaanmu. Semangat!'


'Kau belum membaca pesanku ternyata. Pasti sangat sibuk ya?'


'Kau tak pulang lagi rupanya, istirahatlah yang cukup di sana.'


'Hei, aku mulai lelah, tak apa kan?'


'Aku berhenti disini, maaf.'




Aku meringis melihatnya. Oh, kau menyerah terlalu cepat Sayang.


Kusesap lagi kopiku. Hampir habis rupanya.


Ponsel di sampingku lantas kuraih, kembali teringat kala fotomu terpampang di sana. Tersenyum cerah sambil membawa es krim coklat. Tahukan kau Sayang, wajahmu masih menjadi terfavorit bagiku untuk menghiasi seluruh bagian ponsel ini.


Aku kembali teringat, dengan ucapan temanmu yang samar-samar kuhafal namanya sebagai Bae Irene. Kala aku dengan lancangnya menanyakan kabarmu padanya, dan dengan tersenyum ia berkata,



"Dia baik-baik saja, yang kudengar dia belum bisa move on darimu, loh."



Bolehkah pria brengsek yang membuatmu lelah ini sedikit senang mengetahui itu? Kendati tak bisa kupastikan apakah itu fakta atau bukan.


Atensiku terampas kala suara hujan mulai mengambil alih. Beranda di hadapanku itu sedikit basah terkena air hujan. Dan aku mulai teringat akan dirimu lagi.


Lihatlah, apapun yang terjadi pasti kembali mengingatmu.


Dulu, disaat seperti ini, kau sering mengirimiku pesan. Memberikan nasihat tentang bagaimana aku harus menjaga diri. Tak melupakan payung juga pakaian hangat.


Menghela napas kembali, aku merindukan itu semua.


Mengambil ponsel lantas membuka aplikasi pesan. Mencari namamu dan menemukan pesan terakhir tentang kau yang lelah dengan semua ini.


Aku mulai mengetikkan kalimat sapaan, namun kuhapus kembali. Apakah aku masih memiliki hak untuk menyapa seperti itu?


Kuketikkan kembali dengan kata yang lebih panjang kali ini, mengatakan bahwa aku merindukanmu. Dan kembali menghapusnya. Bertanya kabar saja tak berani, lancang sekali aku mengatakan rindu!


Kupejamkan mata setelahnya, bolehkah...aku menunggu saja?


Kuletakkan ponsel dengan gusar dan mengusap wajah kasar.


Aku...benar-benar tak bisa tanpamu rupanya.


Aku beranjak dari sana untuk mencuci cangkir kopi sebelum notifikasi itu masuk.


Sebuah pesan yang membuat dadaku bergemuruh kencang.


Notifikasi pesan darimu.




Hai, bagaimana kabarmu?




Aku tersenyum membacanya dan mendekap erat benda persegi panjang itu ke dada.


Oh, apakah ini sebuah kesempatan, Sayang?



TBC



Cowonya siapa coba? Wkwkwk

NorepinephrineTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang