Memories 2

458 69 22
                                    

Kita saling menunggu
Untuk tahu siapa yang paling rapuh
Untuk tahu siapa yang akan menghubungi lebih dulu





Kukatakan pada mereka bahwa aku tak lagi terpaku pada masa lalu.


Kukatakan pada mereka bahwa aku tak lagi memiliki rasa rindu padamu.


Tapi pada kenyataannya, hati ini masih ingin mencari tahu, bagaimana kabarmu?


Apakah kau baik-baik saja? Bagaimana kesehatanmu? Apakah soda masih kau gunakan sebagai pelepas dahaga? Kuharap tidak, karena aku sangat membenci itu.


Aroma karamel di kedai ini merasuk memenuhi penciuman. Kembali teringat akan dirimu, yang begitu menyukainya.




Kau duduk dengan wajah tak cerah, lantas helaan napas itu keluar terdengar begitu berat. Dan aku langsung menyadari kala secangkir macchiato tanpa karamel itu tersuguhkan di meja.


"Mereka kehabisan karamel, menyebalkan!"


Aku tersenyum lalu menukar cangkirmu dengan milikku. Mata berbinar itu tertahan dan dengan segera menatapku, meminta penjelasan.


"Kau 'kan lebih menyukainya, lagi pula aku tak masalah dengan kopi apapun."


Wajah berbinar itu akhirnya terlepas. Menyisakan tawaku kala dengan lembutnya kau menarik tanganku dan menggenggamnya lembut.


"Terima kasih."




Lantas, bagaimana dengan sekarang? Apakah kau masih meminum kopi? Apakah karamel tetap menjadi favoritmu? Masihkan kau menambahkan banyak krimer ke dalam cangkirmu?


Aku...penasaran.


Kusesap kopi perlahan dan mulai mengobservasi sekitar. Tak berubah. Masih sama seperti dulu.


Tak adakah keinginan untuk kembali mengingat kenangan manis kita di sini, Sayang? Jika kau sudi dengan hal itu, aku akan dengan senang hati menemani.


Kuhirup napas berlebih lalu melepaskannya kasar. Kemarin, teman-teman kampusku bercerita bahwa ada dua kemungkinan yang akan terjadi setelah hubungan seseorang berakhir.


Ada yang ingin kembali melanjutkan. Ada pula yang ingin melupakan.


Dan bagaimana denganmu? Kau masuk pada kemungkinan yang mana?


Kulirik meja di sampingku. Sepasang kekasih yang bisa kuperkirakan masih SMA itu menarik perhatian. Mereka saling tersenyum satu sama lain. Melemparkan tatapan cinta seperti yang kau lakukan dulu.


Ya Tuhan, sepertinya merindukanmu menjadi hobi baruku saat ini.


Kupikir, menyerah dan meninggalkanmu adalah keputusan yang tepat. Lagi pula, aku tak bisa menuntut meminta sedikit waktumu 'kan kala dengan kerasnya kau menggapai mimpimu itu?


Sebagian hatiku memang senang sekaligus lega ketika cita-citamu terwujud. Tapi, haruskah kau mengabaikanku begitu saja? Setidaknya, luangkan sedikit waktumu untuk mengabariku. Tak perlu perinci tentang di mana keberadaanmu, cukup beritahu bagaimana keadaanmu.


Aku itu cemas juga rindu, tahu!


Dan setelahnya aku mulai berpikir, bukan tentang kau tak lagi memiliki waktu, bukan pula kau yang terlalu sibuk mengejar itu. Tapi perubahan posisiku, aku bukan lagi prioritasmu, dan aku mencoba memahami.


Aku menyerah dan kau tak memperjuangkan. Sesederhana itu rupanya hubungan kita.


Tapi karma tetaplah berlaku. Hukum yang akan menuntutmu dapat kau rasakan dikemudian hari. Dan aku mulai merasakannya. Saat ini.


Siapa yang mengakhiri, dia yang akan menyesali. Hukum itu masih berlaku bagi sebagian orang.


Dan aku yang di sini, dengan tak tahu malunya mengatakan rindu padamu. Padahal aku yang meninggalkanmu.


Tunggu dulu, aku yang tak tahu malu atau rindu yang tak tahu waktu? Seenaknya saja datang dengan menggebu. Dan sialnya, ia datang saat kau tak lagi jadi milikku.


Dan sekarang aku bertanya padamu, apakah kau merindukanku juga, Jeon Jungkook?


Rintikan hujan yang membasahi kaca kedai kopi depanku itu menarik atensi. Kembali mengingatkan tentang...


Sial! Jadi teringat dirimu lagi 'kan!


Dan naasnya, kenangan itu tak mau hilang!


Dulu, ketika hujan seperti ini, kau dengan sukarela memayungiku dengan jaket yang kau kenakan. Merelakannya terkena air hujan. Lantas kau akan sakit setelahnya, karena menggunakan jaket juga pakaian yang basah.


Dan aku akan marah lalu berakhir dengan merawatmu. Lucu bukan kenangan kita dulu?


Aku juga ingat, bagaimana kau memelukku dengan erat dan berdalih agar aku tak kedinginan. Aku tertawa mengingatnya.


Alasanmu itu lucu Kook! Aku bahkan mengenakan jaket juga celana panjang saat itu.


Kusesap kopiku lantas kuraih ponsel. Panggilan cepat nomor satu tetap dirimu, belum berubah.


Menyapamu itu tabu tidak sih?


Terlihat seperti aku merendahkan harga diri ya?


Aku mulai mengetikan sesuatu di kolom pesan. Mulanya, aku ingin meminta maaf. Tapi dengan rasa egoisku yang begitu tinggi, kuhapus lagi itu. Aku tak sepenuhnya salah di sini 'kan?


Kuhembuskan napas kasar lalu mulai mengetik lagi. Kata sapaan juga pertanyaan seputar kabarmu begitu rapi kuketik. Tinggal mengirimnya dan aku membutuhkan waktu dua menit untuk memutuskan itu.



Hai, bagaimana kabarmu?



Tak apa 'kan bertanya seperti ini padamu?


Satu menit aku masih menunggu.


Dua menit aku bersabar.


Tiga menit aku mulai cemas.


Hingga sepuluh menit berlalu kau tak kunjung memberiku balasan. Aku mendesah kecewa, tak adakah keinginanmu untuk sekedar menyambut sapaanku?


Atau jangan-jangan kau tak lagi sudi untuk sekedar membacanya?


Aku kehilangan harapan. Mungkin kau lebih memilih untuk melupakan dari dua kemungkinan yang diceritakan oleh temanku itu.


Kutandaskan kopi lantas beranjak dari sana. Meninggalkan kenangan dan mencoba menerima. Bahwa kau tak lagi bisa kembali padaku.


Membuka pintu kedai dan segera mundur dengan refleks. Hujan belum reda dan sedikit membasahiku. Memaksaku berdiam diri di depan pintu. Berharap intensitas hujan segera turun.


Ada yang kubenci dari hujan selain membuatku basah seperti ini. Adalah kenangan tentangmu yang entah kenapa selalu teringat disetiap kesempatan.


Hingga, pada saat aku benar-benar menyerah akan keadaan. Benar-benar putus asa akan kembalinya dirimu. Kau menghadang jalanku.


Dengan gelas karton beraromakan kopi juga payung berwarna biru, kau tersenyum yang turut membuatku tersenyum juga. Lantas, suara yang begitu kurindukan itu pada akhirnya bisa kudengar lagi.





"Hai juga, kabarku baik-baik saja. Bagaimana denganmu? Masih suka kopi?"





Kulebarkan senyumanku kala mendengar itu.


Oh, apakah kau kembali, Sayang?



FIN


Tolong dimaafkan untuk endingnya 😩

NorepinephrineTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang