10: Worry

26 4 1
                                    

"The day i saw you, look at me with your angelic smile and hold tight my hand. I dont know, why my heart blow up like fireworks."

Matahari mulai enggan menampakkkan dirinya di cakarawala. Hanya semburat jingga yang terlihat di temani semilir angin. Siswa-siswa banyak yang berlalu-lalang di jalanan, beberapa dari mereka menuju jalan pulang.

Chaerin melangkahkan kakinya dengan begitu riang. Menyusuri beberapa jalan menuju rumahnya dengan sesekali bersenandung sambil menendang kakinya di jalanan beraspal tersebut dengan riang.

Gadis itu memasuki rumahnya setelah menekan beberapa digit dari password. Terdengar bunyi tanda pintu telah terbuka. Ia kemudian memasuki rumahnya dan mengganti sepatunya dengan sandal rumahan.

"Wasseo?" ucap seorang pria dari arah ruang tamu.

Chaerin mencari suara tersebut dengan melongokkan kepalanya lebih dalam. Ia mendapati sosok pria sedang duduk di ruang tamu sambil melipat surat harian pagi. "Appa? Sudah pulang?" ucapnya riang. Ia kemudian menghampiri ayahnya itu dengan duduk di sampingnya.

"Ya! Kau kenapa? Sedang jatuh cinta ya?" ucap ayahnya sambil menunjukkan gulungan kertas koran itu ke arah Chaerin. Ia terlihat sedikit emundurkan badannya.

"Apakah sangat terlihat?" ucapnya sambil memegangi kedua pipinya. Ia menepuk-nepuk pipinya dengan tangan memastikan apakah wajahnya memang sekentara itu.

Ayah Chaerin terlihat berdecak, "Dasar tidak punya malu." Mata Chaerin dibuat melotot olehnya karena tidak terima atas tuduhan itu. "Rata-rata anak gadis pasti menjawab 'tidak' karna malu. Kau malah terang-terangan mengakuinya. Urat malumu putus?"

Chaerin mendesah kasar sambil menengadah tidak percaya atas perkataan ayahnya itu. menurutnya ayahnya itu sangat menjengkelkan. Sungguh-sungguh menjengkelkan. Ia kemudian mendaratkan bokongnya itu ke tempat kosong di sebelah ayahnya dengan enggan.

"Bagaiaman perjalananmu? Apakah berjalan dengan lacar?" kata Chaerin sambil menyenderkan badannya ke lengan ayahnya.

"Lancar. Kami disana juga membahas topik lain yang sedang hangat di sela sarapan atau makan siang. Mengemukakan pendapat juga tentang itu terkadang," ucap ayah Chaerin sambil membenarkan letak kacamatanya.

"Topik apa? Apakah ada yang lebih serius?" kata Chaerin sambil memainkan rambutnya. Terlihat raut lelah dari wajahnya. Maklum saja ia telah melewati hari yang panjang.

"Iya tentang ISIS," ucap ayahnya membuat mata Chaerin membulat sempurna.

"Ayah membahas topik itu pada saat sarapan? Bukankah itu termasuk topik yang lumayan berat untuk dicerna saat sarapan? Aku tidak bisa percaya dengan ini," ucap Chaerin sambil menepuk-nepuk pipinya.

"Orang yang berada di sana tidak berisi orang-orang bodoh sepertimu Chaerin. Disana ada Presiden Park, ayah bertugas mendampinginya dalam kunjungan negara," ucap ayah Chaerin. Membuat Chaerin hanya mendengus kesal.

"Apa yang kalian bicarakan tentang ISIS?" tanya Chaerin yang mulai penasaran terlihat dari matanya yang membulat.

"Sebenarnya di Iran dan sekitarnya ISIS merupakan topik yang sentimentil untuk dibicarakan. Ayah melihat agama sebenarnya seperti negara yang mempunyai hal yang boleh dan tidak boleh dilakukan. Seperti halnya negara pasti setiap orang itu memiliki isi kepala yang bermacam-macam bukan?" ucap ayahnya yang hanya dijawab Chaerin dnegan mengangguk-angguk.

"Sama halnya dengan negara yang mempunyai aturan, agama juga memberikan kita petunjuk untuk menuju jalan yang benar. Setiap agama itu pastilah baik, tidak ada agama yang mengajarkan kejahatan. Tetapi tidak semua orang itu baik. Semua orang Korea pun tak tentu baik, ada yang jahat. Kita tak bisa membenci satu negara hanya karena satu bandit. Begitulah agama, kita tidak lantas bisa seenaknya menjatuhkan satu agama itu buruk hanya karena ada beberapa orang yang mempunyai niat jahat demi kepentingan mereka sendiri," ucap Ayahnya sambil membaca berkas-berkas dalam map.

CarameloTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang