12: Cookies

15 1 0
                                    

Ibu Chaerin berada di rumahnya kali ini. Wanita setengah baya tersebut menenteng tas belanja di tangan kanan dan kirinya. Ia mengganti sepatunya dengan sandal rumahan bermotif kotak. Di ambang pintu Chaerin menyambut ibunya tersebut dengan menunjukkan senyumnya yang cerah. Ibu Chaerin kemudian mencibir lalu menyerahkan salah satu kantong belanja yang ia bawa kepada Chaerin.

“Bukannya besok kau ujian?” kata ibunya.

“Iya memang,” ucapnya degan santai. Ia terlihat sedikit kewalahan dengan kantong belanja yang ia bawa.

“Lalu mengapa menyuruh ibu datang? Kenapa menyuruh ibu belanja ini semua?” ucap wanita tersebut sambil meletakkan barang belanjaannya di atas pantri dapur. Kemudian terlihat ia melepas mantel yang dipakainya.

“Ya kalau keberatan kenapa Eomma melakukannya untukku?” katanya sambil memakai celemek berpola kelinci bernuansa putih dan merah muda.

“Anak ini benar-benar. Memangnya ada ujian membuat kukis?” ucapnya kesal. Ibu Chaerin kemudian mengeluarkan beberapa barang dari kantong kresek sambil mengecek satu persatu jika ada salah satu bahan yang mungkin kurang. “Kenapa kau tidak belajar? Kenapa kau malah hendak melakukan kekacauan?”

“Eyyyy…, aku tidak akan melakukan kekacauan, bu,” kata Chaerin kemudian mengeluarkan ponselnya dari dalam sakunya. “Ibu mau membantuku membuat kukis ‘kan?”

“Untuk apa?” ucap ibunya kemudian terlihat menggeledah beberapa laci dan menemukan sebuah celemek. Chaerin mengamati ibunya yang masih sibuk memesanng celemek pada badannya tersebeut.

dengan menyertakan sebuah cengiran khasnya Chaerin berkata, “Untuk dimakan.”

Ibunya terlihat gemas, rahang wanita itu mengatup rapat. “Ya semua orang tahu kukis untuk dimakan. ”

Ia hanya tersnyum tanpa menjawab pertanyaan yang dilontarkan ibunya sebelumnya. Tanpa ada perdebatan atau pertanyaan lagi, mereka melaksanakan tugas masing-maing. Chaerin sibuk memecahkan telur sedangkan ibunya sibuk mencari timbangan.

“Apa resepnya?” tanya ibunya. Ibu Kwon Chaerin mengumpulkan anak rambutnya kemudian ia selipkan ke belakang, menggulung lengan bajunya.

Chaerin memberikan ponselnya kepada ibunya.itu adalah resep kukis yang sederhana, karena Chaerin tahu jika ia dan ibunya sangat tidak berbakat lahiriyah atau batiniah terhadap hal-hal yang menyangkut masak memasak.

“Kalau tidak enak jangan salahkan Eomma,” ucapnya. Ibu Chaerin mengambil terigu kemudian ia timbang beberapa ratus gram kemudian ia letakkan ke dalam mangkuk. Begitu pula dengan mentega dan vanili.

Chaerin mengangguk mengerti walaupun ia sendiri juga tak yakin jika meminta bantuan ibunya.

Ibu Chaerin terlihat menengok ke kanan dan kiri sambil mencampurkan gula dan putih telur kedalam mangkuk stainless. “Kita punya mixer tidak? Seingatku tidak.”

“Tanyakan pada bibi,” kata Chaerin. Ia sedang menata barang belanjaan ibunya di meja pantri.

“Chaerin, apa kau sedang menyukai seseorang?” tanya ibunya.

Chaerin menghentikan kegiatannya untuk sesaat, kemudian melanjutkan apa yang dia lakukan setelah tubuhnya bisa menetralisir rasa keget tersebut. “Kalau iya kenapa kalau tidak kenapa?” ucapnya dengan asal-asalan.

“Tidak apa. Ibu hanya bertanya. Seperti apa orangnya? Siapa lelaki yang membuat hatimu luluh? Seistimewa apa dia sampai membuatmu seperti ini?”

Chaerin mengambil duduk kemudian terlihat sedang berpikir. Menimbang, mengingat, itu yang dilakukan. “Hmmm… sebenarnya dia tidak mempunyai sesuatu hal yang spesial ‘sih. Padahal dia selalu mengatakan sesuatu yang tak mengenakkan, sesuatu yang bisa melukai. Tetapi Ibu tahu ‘kan sejak kecil aku tidak mempan dengan semua hinaan dan celaan?”

CarameloTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang