[6] Sebuah genggaman

2.8K 381 16
                                    

H a p p y  R e a d i n g

* * *

UNTUK kesekian kalinya aku melirik jam tangan yang melingkar di pergelangan tanganku. Berharap waktu akan berputar dengan cepat.

Aku masih setia bersembunyi di balik dinding samping sekolah. Tidak mau masuk ke dalam sebelum bel berbunyi. Karena jika aku masuk sekarang, akan memperbesar peluangku untuk mempermalukan diriku sendiri jika bertemu dengannya.

Cukup kemarin saja aku mati-matian memasang wajah dilapisi kulit badak di depannya. Hari ini, aku bertekad, ingin menghindar darinya. Tidak mau walau hanya bertatap muka.

Namun ketika aku sedang sibuk mengintip dari balik tembok, ponsel di dalam saku rok abuku bergetar. Cepat-cepat aku mengeluarkannya dan terbelalak ketika membaca isinya.

From: Zidan.
Zo, bisa cepet dateng gak? Gue lupa nyatet tugas Bahasa Indonesia yang minggu lalu di suruh ngerjain bareng sama temen sebangku.

Astaga, aku melupakan jika hari ini adalah hari Selasa. Yang artinya, aku harus duduk sebangku dengannya jika pelajaran Bahasa Indonesia berlangsung.

Tidak usah heran begitu. Guru Bahasa Indonesia di sekolahku memang begitu.

Memindahkan tempat duduk menjadi laki-laki-perempuan dengan tujuan agar tidak berisik saat jam perlajaran berlangsung.

Aku menggigit jari, panik sendiri.

Untuk pertama kalinya aku tidak bersyukur ketika hari Selasa tiba. Saat ini, aku benar-benar berharap hari selasa itu lenyap saja. Atau minimal, Pak Angga--guru Bahasa Indonesia--berhalangan hadir.

Aku mencoba mengintip, namun detik berikutnya mataku refleks melotot lebar karena keberadaanku tercium dan segera menarik kepalaku mundur.

"Zoya!"

Mati gue.

Aku menoleh ke kanan dan kiri, berharap ada tempat persembunyian. Namun nihil, hanya kebun pisang yang kurus-kurus, tentu tidak dapat menyembunyikan tubuhku.

"Zoya!"

Aku rasanya ingin pingsan.

"Kok lo gak masuk sih? Gue tungguin di depan gerbang, taunya malah ngumpet di sini." Dia bertanya, sedang tangannya masih menggenggam tanganku yang mulai bergetar sangkin senangnya.

Perlahan-lahan aku menoleh, lalu melempar cengiran lebar. "Tadi ... itu," Aku menggigit bibir panik. Detik berikutnya, dia tertawa kecil seraya mengacak rambutku gemas.

"Lo dari kemaren lucu banget, makan apaan sih?" 

Aku melongo menatapnya, rasanya ingin guling-gulingan saat ini juga mendengar pujian itu keluar dari bibirnya yang merah pucat.

"Udah yuk, masuk. Kita bisa kena omel Pak Angga kalo gak nyelesain tugasnya." katanya seraya menarik tubuhku pelan.

Sedangkan aku masih saja melongo, dengan kedua bola mata terpaku pada tanganku yang dia genggam dengan lembut.

Oh Tuhan, aku lumer.

* * *

are you in love with me? Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang