episode 4

1.5K 86 2
                                    

Aku mengahampiri Elang yang masih menungguku latihan dan berdiri di hadapannya.

"Lo belom balik?" Tanyaku.

"Menurut lo?" Dia kembali memakai earphonenya. Aku melemparkan sepatu ice scating

"Gue udah beres latihan...ayo coba!" Aku tersenyum, rasanya kasian juga dari tadi aku judesin dia.  Dia melihat sekitar area es. "Tenang sih gue ajarin!" Akhirnya dia memakai sepatu yang ada dihadapannya, dia mencoba berdiri setelah itu tapi dia langsung jatuh. Aku tersenyum dan menyodorkan tangan padanya.
"Keep your balance man!"seruku. Dia meraih kedua tanganku, aku berjalan mundur untuk menariknya ke arena es. Aku membawanya berseluncur, mengitari arena es yang sejuk dan licin. Sesekali dia menjerit ketakutan dan mengatakan ingin berhenti, tapi aku sengaja membuatnya kapok dan berhenti mengikutiku. Aku tertawa, dan akhirnya dia pun tertawa, aku bisa merasakan bahwa dia sudah menemukan ritme bahagia di arena ice scating, keseruan, ketentraman, kenyamanan...tangan kami masih saling menggenggam, angin menerpa diantara kecepatan langkah kami.

"Wowwww...gue gak pernah tau kalo ice scating seseru ini!" Serunya.

"Ada banyak hal menyenangkan yang bisa lo coba dari pada tiduran dikelas atau sekedar berontak sama orang tua!" Jawabku. Dia tertawa renyah dengan gingsulnya yang menambah keindahan wajahnya. Entah...kenapa dia ganteng banget.

Cukup lama kami bermain-main diarena es, setelah kami puas bermain, kami duduk ditepi arena dikursi panjang memandang orang-orang yang lalu lalang bermain.

"Kenapa lo suka ice scating?" Tanya dia tiba-tiba.

"Dulu...kalo gue sedih ibu selalu bawa ketempat ice scating dan ngajarin gue sampe gue bener-bener bisa...dan pada akhirnya gue masuk kelas ice scating disekitar rumah. Dan lambat laun...ice scating jadi impian gue...gue bahagia ketika gue pake sepatu ini, gue bahagia ketika gue bisa menari dengan bebas di arena es...gue bahagia ketika dari apa yang gue suka bisa membanggakan ibu. Gue sebut itu impian...karena impian membuat lo bahagia." Jelasku. Elang termenung dan menerawang jauh ke arena.

"Kenapa seseorang harus punya impian?" Tanya Elang pelan seperti putus asa.

"Kenapa pas mau makan lo liat dulu list menu? Bukannya makan itu supaya kenyang? Kenapa harus milih makanan?" Elang menatapku, seolah menunggu jawaban dariku. "Supaya hasrat lo terpenuhi...untuk mengisi perut gak cuma harus kenyang...tapi lo juga harus suka makan apa yang bakalan lo masukin ke perut lo. Begitupun impian...ketika lo punya list mimpi, lo pilih yang paling lo suka...dan jalani itu sampe serius dan lo akan tau betapa indah dunia yang lo miliki selama ini." Jelasku, Elang menatapku serius.

"Lo tau... gara-gara mimpi, hidup gue berantakan." Jawabnya pelan.

"Dan lo tau...loser selalu mencari-cari alasan supaya dia bisa diterima!" Elang kembali terdiam, dia membuka tali sepatunya dengan wajah murung. Aku berdiri dan jongkok di depan sepatunya dan kembali ku ikatkan tali sepatunya, dia menatapku serius. "Gak ada hidup yang buruk...semua indah pada porsinya. Belajarlah bermimpi...mimpi itu indah." Dia tersenyum sinis dan kembali membuka tali sepatu yang sudah ku ikatkan dan segera mengganti sepatunya. "Lo mau kemana?"

"Lha bukannya lo nyuruh gue balik tadi?" Dia kembali menatapku, kali ini ekspresinya sudah kembali seperti biasa, resek dan nyebelin. Aku berdiri seketika.

"Lo gak bisa diajak ngomong serius apa???" Rengekku.

"Gue gak suka serius-seriusan! Belom siap!" Jawabnya santai, aku hanya bisa menganga dan seketika ia berdiri dihadapanku. "Gue cabut! Thanks for to day!" Dia berlalu sambil menggendong tasnya, aku bisa melihat kesedihan bahkan dari punggungnya, aku bisa merasakan kesepian dari ekspresi wajahnya tadi, entah...enatah apa masalahnya, tapi aku yakin ia punya alasan untuk salah faham terhadap mimpi. Aku terus memandangi punggungnya yang bidang hingga tubuh itu lenyap ditelan pintu.

Masa Sekolah (Broken Home)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang