Epilog

616 63 0
                                    

🍭🍭🍭

"Baiklah, itu tadi sekilas bocoran film Sadewa. Sekarang, mari kita sambut aktor dan aktris yang membintangi filmnya." Rossa bangkit menyambut bintang tamu yang akan memasuki studio "Jefri Nichol dan Amanda Rawless!"

Suara penonton terdengar bergemuruh, mereka berteriak kegirangan karena dapat melihat artis favorit secara langsung. Nichol dan Amanda terus menebar senyum, membuat semuanya semakin histeris.

Rossa menyalami Nichol dan Amanda, kemudian mempersilakan keduanya duduk di sebelah kiri Diva. "Nichol, ya ampun. Kamu tambah ganteng aja sih?" goda Rossa, ditanggapi kekehan penonton, juga Nichol. "Emang cocok banget jadi pemeran Sadewa, ya. Badboy, menggemaskan."

Semua terbahak, apa lagi Nichol yang bersemu karena dipuji seperti itu. Kini, Rossa beralih pada Amanda. "Manda juga, karakternya cocok banget sama Samantha." Amanda mengangguk pelan, senyum terulas di bibirnya. "Gimana nih kesannya syuting film Sadewa? Aku tanya Nichol dulu, abis itu Manda, ya?"

Nichol berdeham, kedua tangannya disatukan. Tatapannya menyorot kamera dengan tajam diiringi seringai andalannya, mirip seperti Sadewa. "Saya sangat berterima kasih kepada pihak production dan juga Kak Diva, yang telah mempercayakan peran ini kepada saya. Semoga, akting saya, Manda, dan semua pihak yang terlibat di dalamnya, bisa menjawab rasa penasaran kalian tentang novel Sadewa."

Tepuk tangan menanggapi, kini giliran Amanda diberi kesempatan menyampaikan kesannya. "Kalau saya, hampir sama kayak Nichol. Sungguh, sebuah kehormatan bagi saya untuk bisa memerankan tokoh Samantha. Terima kasih untuk kesempatan yang diberikan. Semoga, tidak mengecewakan kalian, ya."

Crew televisi memberi aba-aba kepada para penonton untuk bertepuk tangan. Sesi dijeda, memberi waktu kepada para bintang tamu untuk beristirahat sejenak. Diva berbincang dengan Nichol dan Amanda. Pasalnya, kedua aktor itu adalah idola Diva sejak dahulu dan impiannya untuk melihat keduanya berperan sebagai Sadewa dan Samantha, pun terwujud.

Commercial break usai, kini Rossa kembali membuka acara. Tentunya dengan sesi baru, mendatangkan satu bintang tamu yang kali ini tidak diduga oleh Diva sebelumnya. Gadis itu diminta menutup mata, kala Rossa memanggil sang bintang tamu. Sedetik kemudian, ketika sosok itu sudah ada di sebelah kiri Diva, gadis itu terdiam sejenak.

Diva memalingkan wajah ke depan, tak kuasa melihat cowok yang ada di sebelahnya. Rossa memberi waktu kepada Diva untuk mengontrol diri, sebelum menanyakan hal yang mungkin privasi baginya. "Diva, dia siapa?" tanya Rossa dengan hati-hati.

Diva menoleh menatap Rossa dengan mata memerah. Nichol menyerahkan selembar tisu pada Diva, kemudian gadis itu mengelap air mata yang jatuh membasahi pipinya. "Gavin?"

Gavin tersenyum saat mendengar suara Diva untuk pertama kalinya, setelah sekian lama mereka berpisah. "Hey, Diva. How are you?"

Diva kembali meneteskan air mata, tak kuasa menahan kesedihan yang selama ini ditahankan. Menahan rindu dan sayang, hanya karena tak direstui orang tua Gavin. Diva memilih mundur, menyudahi hubungan yang bahkan belum sempat mereka mulai. "I'm good, what about you?"

"Me too." Gavin tersenyum tipis, diraihnya kedua tangan Diva dan dielusnya dengan lembut. "You know, i miss you so damn much."

Diva mengangguk pelan, tangisnya tumpah. Kontan, Gavin menarik gadis itu dalam pelukkannya. Semua orang menatap haru. Pasalnya, kisah sang penulis skenario tak kalah mengharukam, membuat mereka ikut terbawa perasaan. Mereka menanti penjelasan kisah apa yang terjadi antara Diva dan Gavin.

"Bisa diceritakan sedikit tentang hubungan kalian? Aku dapat info, kalo kalian pernah terlibat cinta yang tak direstui?" tanya Rossa dengan hati-hati. Gavin dan Diva saling bertatapan, memberi isyarat untuk menjelaskan apa yang terjadi.

Akhirnya, Gavin membuka suara. "Diva adalah perempuan yang beda. Dia tangguh, pantang menyerah, serba bisa melakukan apa saja. Saya dibikin kagum sama dia, dan karena itulah saya jatuh cinta."  Studio terasa ramai, karena penonton berbisik-bisik membahas ucapan Gavin yang terdengar sweet. "Tapi, Mama saya saat itu menentang hubungan saya dengan Diva, karena sebuah alasan yang tak bisa saya jelaskan di sini. Akhirnya, kami terpisahkan selama tiga tahun. Saya sengaja tidak memacari siapa pun, karena saya percaya ... Diva juga sedang menjaga hatinya untuk saya."

Diva tersenyum haru, apa yang dikatakan Gavin itu benar. Ia memang tak membuka hati untuk cowok lain, berharap suatu saat Tuhan mengizinkannya untuk bersatu dengan Gavin.

Gavin menggamit jemari Diva, ditatapnya gadis itu dengan intens. "Div, sekarang kita udah dewasa, sama-sama bisa menentukan pilihan masing-masing. Gue udah kasih mama pengertian tentang hubungan kita, dan mama merestui," ujarnya, kemudian ia mengeluarkan kotak merah dari saku celananya, dibukanya kotak itu dan ditunjukkan kepada Diva. "Div, perasaan gue dari tiga tahun lalu sampai sekarang masih belum berubah. Lo masih jadi satu-satunya buat gue. Apakah gue juga masih jadi pemilik hati lo?"

Diva mengangguk, tangan kirinya menutupi sebagian wajahnya yang memerah. "You're still the one, Gav."

Gavin mengulas senyum lebar, disematkan cincin emas itu ke jari manis Diva, lalu diciumnya punggung tangan Diva cukup lama. "Div, will you marry me?"

Diva mengangguk antusias. "Yes, i do," ucapnya, kontan seisi studio bertepuk tangan.

Gavin mendekap Diva dengan erat, dalam hati ia berterima kasih pada Tuhan karena telah diberi kesempatan untuk menjalin kembali hubungan yang sempat tertunda. Gavin berjanji akan terus menjaga Diva sampai kapan pun, dan tidak akan membiarkan gadis itu pergi dari hidupnya lagi.

🍭🍭🍭

Published : 23 Mei 2020

Vote + Comment

Love,

Max

Shining Star [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang