21. Private Lunch

322 49 0
                                    

🍭🍭🍭

"Pak, stop." Diva memukul pelan punggung driver tua itu. "Makasih, Pak." Diva menyerahkan helm oren dan uang cash pada lelaki itu kemudian segera memasuki restoran tempat ia bekerja.

Langkahnya terburu-buru, karena jam menunjukkan pukul 16.10 yang artinya Diva telat 10 menit. Kini jaket dan slingbag-nya diletakkan di ruang khusus karyawan, kemudian rambut panjangnya dikucir. Saat keluar dari ruang karyawan, pandangan Diva beralih pada ruang VVIP di sisi kiri restoran. Biasanya, lampu di ruangan itu tak pernah menyala. Diva segera menahan Putri yang baru saja keluar dari ruang VVIP itu. "Eh, Put, ruang itu ada orangnya, ya?"

Putri menoleh ke arah ruangan yang dimaksud Diva, kemudian mengangguk. Tampah yang dibawa, sepertinya Putri baru saja mengantarkan pesanan si pengunjung VVIP. "Iya, Bu Sisca lagi ada private lunch." Diva mengernyit, pandangannya menatap kosong pintu bakoh bercat putih di seberang sana. "Eh, Div, bantu bawa makanannya, ya." Putri menarik tangan Diva menuju dapur, meletakkan beberapa menu masakkan di atas tampah, kemudian diserahkan pada Diva. "Lo duluan, gue mau urus yang lain dulu," titahnya, Diva mengangguk saja.

Gadis itu deg-degan, karena pertama kalinya menyajikan pesanan untuk tamu VVIP. Dengan langkah pelan tapi pasti, kini Diva berhenti di depan pintu. Hendak membuka kenop pintu, Diva tak sengaja mendengar pembicaraan yang terjadi di dalamnya. Diva tak bermaksud menguping, tapi ketika mendengar namanya disebut membuatnya mau tak mau kembali mendengarkan pembicaraan itu.

"Div, kok masih di sini?" Putri mengejutkan Diva, untung saja tampah yang dibawa Diva tak limbung. "Ayo, masuk."

Semua mata memandang ke arah Diva dan Putri, suasana hening sejenak ketika keduanya meletakkan masakkan di meja super besar dengan lampu menyala terang di atas langit-langitnya. Sisca menatap Diva sambil tersenyum manis, kemudian mengenalkan gadis itu pada wanita yang duduk di sebelahnya. "Ma, ini Diva, karyawan baru Sisca. Kerjanya sejauh ini cukup bagus, dia juga salah satu karyawan teladan di sini," ujarnya, lalu mengalihkan pandangan pada cowok yang duduk di hadapannya. "Gav, lo gak mau nyapa Diva?"

Merasa tak ada respons dari Gavin, karena cowok itu justru menatapnya tajam, kini Sisca kembali menatap Diva yang justru bertukar pandang dengan Gavin. "Div, lo pacarnya Gavin, kan?" tanyanya lagi, sontak Diva menghentikan kegiatannya sejenak.

"Ini pacarmu, Gav?" Rena mengamati Diva dari atas sampai bawah, tatapannya menyiratkan tidak suka. "Sudah berapa kali Mama bilang, cari pacar tuh yang selevel. Jangan karyawan kamu pacarin!"

"Mama ...." Gavin berusaha menenangkan Rena, ia tahu betul apa yang akan dilakukan Rena selanjutnya.

"Benar kamu pacar Gavin?" Rena menatap Diva dengan sorot tajam. Sisca memberi isyarat pada Putri untuk keluar dari ruangan itu. Sementara Diva memilih diam, tak berani memandang lawan bicaranya. "Kamu punya mulut, kan? Jawab saya!" bentak Rena, kontan Diva terenyak, tertunduk dengan mata terpejam. 

"Ma, cukup! Gak perlu marah ke Diva!" Kali ini intonasi Gavin meninggi, ia tak sanggup melihat gadis yang disayanginya, mendapat amukkan oleh mamanya sendiri.  "Berapa kali Gavin bilang, Gavin bakal pilih pacar yang sesuai untuk Gav—"

"Kamu harusnya bisa pilih mana perempuan yang pantas bersanding sama kamu, dan mana yang tidak!" Rena menyela, suaranya menggema. Sisca dan Erica diam, memperhatikan perkelahian ibu dan anak itu. "Kamu!" Rena menunjuk Diva dengan tatapan nyalang. "Jauhi anak saya dan jangan mimpi untuk menjalin hubungan sama Gavin!"

"Mama!"

"Jeng, sudah, diselesaikan dengan cara baik-baik kan, bisa?" Erica menengahi. Wanita berambut hitam sebahu dengan jedai kupu-kupu dan dress motif mawar merah itu angkat bicara. "Jangan terlalu dipermasalahkan. Kasihan, Diva."

Rena manatap Erica dengan sorot marah yang masih menggebu-gebu, ia tak bisa berdamai sebelum Gavin memutuskan hubungan dengan Diva. "Dengar ya, Diva, saya gak peduli tentang kamu. Tapi, saya tegaskan sekali lagi, putuskan hubunganmu dengan Gavin. Dia akan saya jodohkan dengan Sisca."

"Gavin gak bisa terima perjodohan ini, Ma!" Gavin tak sengaja menggebrak meja, membuat semua orang terenyak, termasuk Rena. "Gavin gak mau menjalin hubungan sama perempuan yang gak Gavin cintai!"

"Kamu buta? Perempuan cantik, pintar dan berbakat kayak Sisca ini mau kamu sia-siakan? Kamu lebih pilih perempuan kampung yang cuma kerja jadi karyawan di sini?" Rena memekik, dadanya naik turun menahan emosi karena tak terima dibentak oleh putranya sendiri. "Kamu!" Rena kembali menunjuk Diva. "Apa yang udah kamu lakuin sama Gavin? Sampai anak saya jadi pembangkang kayak gini?"

Diva menatap Rena dengan mata memerah, menahan isak, kemudian menggeleng pelan. "Saya gak pernah ngapa-ngapain sama Gavin, Tan. Saya juga bukan pacarnya Gavin."

"Diva!" Gavin menatap Diva dengan frustrasi, karena gadis itu semakin terpojokkan tapi ia tak bisa berbuat apa-apa untuk menolongnya.

"Maaf, saya pemisi dulu." Diva menunduk, lalu keluar dari ruangan yang sangat menyesakkannya. Sementara Gavin langsung bangkit namun, tangannya ditahan oleh Rena. "Lepas, Ma."

"Kamu pilih dia atau Mama?" desak Rena, ekspresinya berubah 180 derajat, menampilkan raut sedih agar Gavin luluh padanya. Seketika mata hitam Rena melotot melihat Gavin yang melepas cekalan tangannya dengan kasar dan memilih mengejar gadis yang tidak disukainya. "Gavin!"

🍭🍭🍭

Published : 6 Mei 2020

Vote + Comment

Love,

Max

Shining Star [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang