08. Care

729 93 1
                                    

🍭🍭🍭

"Div, gue turut prihatin. Semoga Om sama Tante bisa tabah menghadapi cobaan ini." Aqilla menepuk pundak Diva beberapa kali dan menenangkan Diva yang terisak. "Percaya, Tuhan punya rencana baik."

Diva menatap Aqilla dengan mata sembab. Suasana taman kampus yang sejuk, setidaknya memberikan ketenangan padanya. Ia tak tahu harus bagaimana mencari jalan keluar dari masalah ini. Ia tak mengerti, kenapa Tuhan memberinya cobaan secara bertubi-tubi?

"Kak Habibi bilang apa?" tanya Aqilla seraya mengalihkan Diva dari kesedihan dan kembali fokus pada tujuan awal yaitu menyelesaikan kasus ini.

Diva berusaha mengontrol diri sambil menghela napas berat. "Dia bilang, kasus ini tetap bisa diusut, tapi gue harus kumpulin dulu bukti-buktinya."

"Ya udah, minta sama orang tua lo buat kumpulin semua bukti, terus kasih Kak Habibi. Semoga ada titik terangnya." Kini pandangan Aqilla beralih ke depan, matanya menangkap sosok lelaki sedang bersandar di mobil putih dan balas menatapnya. "Div, sorry. Gue gak maksud ninggalin lo saat lo butuh dukungan, tapi Alvin udah jemput. Dia minta gue nemenin nyokapnya. Gak papa, kan?"

Diva menatap subjek yang dimaksud Aqilla di sebarang sana. Seorang cowok tengah melepas kacamata hitam dan melambaikan tangan ke arah keduanya. Diva menyentuh tangan Aqilla, kemudian mengulas senyum tipis. "Gak papa, Qil. Makasih lo udah dengerin curhatan gue. Gih, samperin Alvin."

Aqilla mengangguk lalu bangkit seraya menyampirkan ransel mininya. "Gue duluan ya, Div." Aqilla menghampiri Alvin, kemudian mobil putih itu melesat pergi.

Diva bersandar di bangku taman dengan mata terpejam. Embusan angin membuatnya merasa tenang walau hanya sesaat. Belum genap lima menit, ia terenyak saat sebuah tangan mengusap puncak kepalanya. "Astaga, Gavin! Lo hobi banget sih, ngagetin gue?"

Gavin tertawa cekikikkan, kemudian duduk di sebelah Diva. Manik hitamnya menatap lurus mata Diva yang sayu. "Eh, lo kenapa? Abis nangis, ya?"

Atensi langsung dialihkan Diva ke depan, tempat mobilnya diparkirkan. Ia tak ingin membiarkan Gavin mengetahui permasalahannya. Cukup kemarin ia melibatkan Gavin, kali ini jangan. Diva diam sambil memainkan kuku tangannya, dan membuat Gavin gemas karena pertanyaannya tak kunjung dijawab. "Lo kenapa sih, hobi banget cuekkin gue?"

"Gavin ...." Diva mendesah dengan gusar, jika sekali lagi Gavin bertanya, sudah pasti Diva akan menangis. "Gue pengin sendiri."

"Kenapa harus sendiri kalo sekarang lo punya gue?" Gavin meraih tangan Diva yang gemetar lalu mengusapnya dengan lembut. "Kalo ada masalah, lo bisa cerita sama gue."

Diva mengamati tangan kekar Gavin, jika diizinkan, ia ingin berteriak dan menangis sekencang-kencangnya, memberitahu semua hal yang menyakitinya pada cowok itu. Tapi, Diva memilih bungkam dan tak ingin Gavin ikut memikirkannya.

"Kalo lo gak mau cerita sekarang, gak papa kok. Gue bakal tunggu sampai lo mau cerita di waktu yang menurut lo tepat," ucap Gavin di sela helaan napasnya. Raut wajahnya terlihat murung. Kini atensinya beralih ke depan, menatap jalanan yang ramai lalu lalang kendaraan.

"Sorry, Gav, bukannya gue gak mau cerita, tapi gue butuh waktu untuk menenangkan diri," lirih Diva.

Gavin memandangi wajah Diva yang kusut. Ia merapatkan jarak dan mendekap tubuh gadis itu dari samping. "Gue ngerasa jadi orang gak berguna, karena gak bisa bantu lo."

"Kehadiran lo saat ini udah bikin gue ngerasa lebih tenang kok, Gav," ujar Diva dengan lirih.

Gavin melepaskan dekapannya, kemudian menatap Diva dengan lamat-lamat. "Div, gue bakal berusaha bantu lo. Apa pun masalah lo—"

"Lo kenal sama gue baru beberapa hari, Gav—"

"Apa karena itu lo gak bisa cerita sama gue? Apa karena kedekatan kita yang masih dalam hitungan hari, lo anggap gue gak bisa bantu? Apa kadar kepedulian cuma diukur dari berapa lamanya pertemanan?" Gavin mengembuskan napas kasar, kemudian memalingkan pandangan ke arah lain.

Suasana hening, hanya terdengar embusan napas masing-masing. Gavin dengan wajah muramnya, karena kesal niat baiknya ditolak oleh Diva. Sementara, Diva sibuk memainkan kuku jari sambil menggigiti bibir bagian bawahnya. Ia kalut, ingin bercerita, namun takut.

"Orang tua gue ditipu sama orang kepercayaan mereka." Diva akhirnya angkat bicara. Gavin langsung memusatkan fokusnya pada gadis itu. "Pak Rio selama ini dipercaya untuk bantu handle bisnis Papa, tapi dia pergi dan bawa modal bisnis itu. Sekarang Papa bingung cara balikkin uangnya, karena uang yang dibawa kabur, bukan uang Papa, tapi pinjaman Bank."

Iris hitam Gavin menatap Diva dengan pilu. Ia tak menyangka gadis itu menyimpan masalah yang berat. Dengan hati-hati, ia menanyakan hal yang sifatnya privasi, semoga saja Diva tak tersinggung dengan ini. "Kalo boleh tau, berapa uang yang dibawa kabur Pak Rio?"

Diva membalas tatapan Gavin dengan sendu, berusaha meyakinkan diri jika cowok di hadapannya ini benar-benar bisa dipercaya. Lantas, Diva menghela napas berat dan menatap ke depan. "Satu milyar."

Suasana mendadak hening. Setelah mengetahui masalah yang dialami Diva, Gavin tak tau harus berbuat apa. Satu milyar? Uang sebanyak itu bisa didapat darimana? Niat ingin membantu pun seketika menciut, karena Gavin hanyalah anak kuliahan yang belum berpenghasilan. Uang yang didapatnya selama ini adalah pemberian orangtua, juga ketika ia berhasil menjualkan mobil dagangan Papanya.

"Sorry, Gav, lo jadi tau aib keluarga gue." Diva tersenyum getir sambil mengusap air matanya. Pandangannya terpaku pada mobil pemberian orangtuanya dua tahun lalu. "Anggap aja gue gak pernah cerita masalah ini ke lo."

Gavin menghela napas. Ia merasakan kegelisahan yang dirasakan Diva, kemudian ia meraih tangan mungil itu dan meremasnya dengan pelan. "I care about you. I don't want to see you cry. If you got a problem, you can share it to me. We can find the solution together. I promise, i'll always be by your side."

🍭🍭🍭

Published : 28 April 2020

🍭🍭🍭

Jangan lupa vote dan komen, ya.

Love,

Max

Shining Star [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang