18. Pride

325 52 0
                                    

🍭🍭🍭

Suasana di klinik sangat tenang, hanya terdapat beberapa perawat terlihat ke sana kemari sibuk mengurus pasien. Di sebuah ruangan di ujung klinik, pasien masih belum siuman, sementara di sebelahnya Gavin tidak pernah beranjak dari tempatnya.

Tangan yang dipasangi infus itu, terus digenggam Gavin. Ia merasa bersalah, karena lalai dan berakhir mencelakai gadis itu. Topi hitam Gavin diletakkan di dekatnya. Ia menunduk, menciumi tangan Diva, berdoa supaya gadis itu cepat sadar.

Gavin ingat betul, meski sudah berusaha menghalaunya, gelas kaca itu tetap mengenai kepala Diva. Gavin menggeram, jika sampai terjadi apa-apa dengan Diva, ia akan mencari keberadaan dua bajingan yang berani menyakiti gadis itu. Duel sampai mati pun, Gavin siap.

Gavin merogoh saku celananya saat merasakan getaran ponselnya. Ia segera keluar dari ruangan agar tak mengganggu Diva. Panggilan dari sang mama diangkatnya segera. "Kenapa, Ma?" tanya Gavin sambil bersandar di dinding, menghadap lorong panjang yang menghubungkan antara ruangan itu dengan pintu utama.

"Kamu di mana, Gav? Jam segini kok belum pulang?" tanya Rena di seberang sana.

Gavin melihat jam tangannya, kemudian mendesah panjang karena jam menunjukkan pukul 9 malam. Ia mengusap wajahnya kasar. "Gavin lagi di klinik, Ma. Temen Gavin sakit. Bentar lagi pulang."

"Siapa temenmu itu?" tanya Rena penasaran, tak biasanya anaknya itu mau menunggu seseorang dalam waktu yang lama, apa lagi tengah malam seperti ini.

"Diva, Ma," jawab Gavin dengan lirih, ia meringis menahan pilu kembali teringat jika dirinya-lah penyebab Diva sampai seperti ini. Gavin berbalik, mengintip dari balik kaca pintu dan mendapati Diva sudah sadar. "Ma, Gavin tutup ya, teleponnya. Bentar lagi Gavin pulang. Bye, Ma." Gavin memutus sambungan telepon, kemudian masuk ke ruangan dengan langkah gugup.

Gavin duduk di tempat semula, dan digenggamnya tangan Diva dengan erat. "Kita di klinik deket kampus. Tadi lo pingsan," ujarnya menjelaskan. Diva masih diam, ia menyentuh kepalanya yang terbalut perban. Bibirnya yang pecah-pecah, berusaha untuk mengucapkan sesuatu. "Jangan paksain dulu, Div. Lo harus istirahat. Gue telepon orangtua lo, ya?"

Diva menggeleng dengan tatapan kosong. Dibalasnya genggaman tangan Gavin, sembari memaksakan diri untuk berucap, "anter ... gue ... pulang, Gav."

Gavin mengusap rambut Diva dengan lembut. Ditatapnya manik hitam itu dengan sendu. "Maafin gue, karena gak bisa jagain lo."

Diva memejam karena merasakan nyeri di kepalanya. Ia berusaha untuk beringsut duduk. Gavin menahannya, tapi Diva bersikeras dengan dalih ia baik-baik saja. Akhirnya, Gavin membantu Diva dengan hati-hati. Diva bersandar pada sisi ranjang. Tangannya bergerak menyentuh wajah Gavin yang penuh luka, tanpa sadar ia menitikkan air mata. "Luka lo lebih parah, kenapa gak diobatin?"

Gavin merasakan kelembutan tangan Diva sambil memejam. Tangan gadis itu diciuminya beberapa kali. "Luka di tubuh gue gak ada apa-apanya, dibanding luka di hati gue karena lihat lo sakit kayak gini."

Diva terenyuh mendengar ucapan Gavin yang tulus. Ia mengulas senyum, merasa lega karena Gavin tidak mendapat luka parah akibat perkelahian dengan dua cowok asing. "Besok kalo lo berantem gue gak mau ikut campur," gumam Diva dengan sudut bibir tertarik ke atas. "Ternyata kena pukulan itu sakit juga, ya?" Sontak keduanya terkekeh. Gavin berusaha menahan tawa, namun gagal. Diva selalu bisa membuatnya tertawa, bahkan saat dalam kondisi kritis sekali pun.

Kini, keduanya saling bertatapan. Gavin melepaskan sentuhan Diva di wajahnya, dan dielusnya tangan gadis itu. "Div, gue mau ngomong sesuatu." Gavin menjeda, Diva merespons dengan isyarat tanya. "Lo berhenti kerja, ya? Jangan kerja di situ lagi."

Diva mengernyit. "Kenapa, Gav? Lo tau kan, gue kerja karena bantu keluarga?"

"Iya tau, tapi gue minta lo keluar dari restoran itu."

"Emang kenapa kalo kerja di situ? Apa gue merugikan orang lain?"

Gavin mengembuskan napas berat, ia tau akan sulit meminta hal ini. Ia juga tau, Diva pasti akan berpikiran buruk tentangnya, karena keegoisannya. "Gue gak mau kejadian tadi keulang lagi. Gue gak mau, lo digangguin sama bajingan itu."

Kerutan semakin terlihat jelas di kening Diva, bingung dengan keputusan yang dinyatakan sepihak oleh Gavin. "Lo tau kan, sekarang gue jadi tulang punggung keluarga? Kalo berhenti kerja, nanti gimana nasib keluarga gue?"

"Gue bantu lo cari kerja di tempat lain, asal gak di situ lagi," ujar Gavin, diarahkan tangan Diva di depan mulutnya, lalu digenggamnya erat.

"Gav, lo boleh marah, tapi, harus pake akal sehat juga. Cari kerjaan gak gampang. Itu aja kerjaan keempat yang gue lamar. Untuk sekarang, yang penting gue bisa punya uang dulu," jelas Diva, berusaha bersabar.

"Gaji lo di sana berapa?" tanya Gavin. "Gue bakal gantiin uang gaji lo, asal lo keluar dari kerjaan itu."

Diva menaikkan sebelah alisnya, lalu tersenyum getir. "Lo mau bayar gue?" tanyanya dengan lirih. "Ternyata lo gak ada bedanya sama mereka ...."

"Div, bukan gitu, maksud gue—"

Diva melepas tangannya dari genggaman Gavin, kemudian infus dilepasnya dengan kasar meski terasa ngilu. Ia mengumpulkan tenaga untuk menuruni kasur. Gavin menahannya, tapi, Diva mendorong tubuh cowok itu dengan pelan. "Makasih, gue jadi tau sebenarnya gue ini apa di mata lo. Ternyata gue gak lebih dari sekedar cewek miskin yang butuh uang dan bisa lo bayar seenak lo."

"Div, dengerin gue dulu." Gavin meraih tangan Diva, namun langsung ditepis gadis itu.

Diva menatap manik hitam Gavin dengan sendu dan kecewa. "Gav, gue emang lagi di titik terendah dalam hidup gue. Tapi, lo gak bisa menyamakan gue dengan perempuan bayaran di luar sana yang bisa lo atur dan bayar mereka semau lo. Gue gak se-matre dan serendah itu."

🍭🍭🍭

Published : 4 Mei 2020

Vote + Comment

Love,

Max

Shining Star [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang