22. Star

375 44 5
                                    

🍭🍭🍭

Langkah cepat gadis itu membawanya menuju ruang khusus karyawan. Diva buru-buru mengusap wajahnya yang basah akibat tangis, karena beberapa teman memergokinya. Mereka menghampiri Diva dan bertanya apa yang terjadi, namun gadis itu hanya menjawab dirinya baik-baik saja dan hanya merasa sedikit lelah. Pintu terbuka dengan kasar dan memunculkan sosok Gavin di ambang dengan sorot sulit digambarkan.

Gavin menyuruh tiga karyawan itu untuk keluar meninggalkan dirinya dan Diva. Mereka menurut, karena tau Gavin adalah tamu spesial bosnya. Kini, ruangan dikunci Gavin agar tak ada yang bisa mengusik keduanya.

Diva mengalihkan pandangan ketika Gavin berdiri di hadapannya. Suasana hening menyelimuti, isakkan terdengar dari mulut Diva. Gavin menyentuh dagu gadis itu dan ditatapnya wajah Diva yang memerah. "Div?"

Kedua retina saling bertukar pandang, memberi isyarat sakit yang mendalam. Gavin memeluk tubuh ramping Diva, akhirnya tangis gadis itu pecah, diusapnya punggung yang bergetar itu sekaligus berusaha menangkan, bagaimana pun ini salah Gavin. "Nangis aja, Div, lampiasin sakit yang lo rasain sekarang," bisik Gavin dengan suara lembut. "Maaf, kesedihan lo akibat dari ketidak tegasan gue."

Diva menggeleng, tak berniat membalas dekapan Gavin. Tangis air matanya membasahi kaos hitam Gavin. Ia menangis sesenggukkan, rasanya sakit sekali direndahkan di depan banyak orang. Apa lagi dirinya saat ini mungkin menjadi pembicaraan karena Putri yang juga tak sengaja menyaksikan kejadian tadi.

"Gue mewakili Mama, minta maaf, karena Mama udah nyakitin perasaan lo. Gue tau, Mama keterlaluan dan lo berhak marah ke gue. Gue harap, lo bisa maafin Mama, karena Mama gak bermaksud—"

Diva melepas dekapan dan menatap Gavin dengan senyum getir. "Nyokap lo ngatain gue dengan kesadaran penuh. Semua omongannya emang bener, gue gak pantes bersanding sama lo. Karena gue cuma karyawan yang gak selevel sama Bu Sisca."

"Div, bagi gue, lo itu lebih dari Sisca. Hati gue memilih lo, bukan Sisca." Gavin meraih tangan Diva dan diusapnya lembut. "Gue sayang sama lo."

"Lo gak mau kan, dicap anak durhaka karena lebih pilih gue daripada nyokap lo?"

Gavin diam, sorot matanya terlihat lelah dengan segala yang terjadi di hidupnya. Ia ingin lepas dan bebas dari semua aturan sang mama yang justru membelenggunya. Gavin ingin merasakan cinta sejati, yang datang dari hati, bukan paksaan untuk mencintai. "Selama ini gue selalu nurut. Apa yang Mama minta selalu gue lakuin. Gue bahkan sering mutusin hubungan gue, karena Mama selalu menganggap mantan gue gak selevel sama gue. Tapi, kali ini gue gak bisa. Gue mau semua penderitaan ini berakhir. Gue mau jalanin hidup layaknya orang normal tanpa aturan yang gila."

"Gavin, semua aturan dan larangan nyokap lo itu demi kebaikkan lo," ujar Diva dengan suara lemah.

"Gue gak pernah merasa bahagia dengan semua aturan Mama. Apa itu disebut demi kebaikkan gue?" tandas Gavin, kilat matanya terlihat menyeramkan. Diva terdiam, emosinya sudah mereda. Gavin menghapus jarak, membuat Diva tak sengaja membentur dinding di belakangnya. Posisi keduanya saat ini sukses membuat jantung Diva berdegup tak beraturan. Pasalnya wajah Gavin sangat dekat dengan wajahnya, hingga dapat merasakan embusan napas cowok itu. "Gimana bisa gue ngejauhin lo, kalo ternyata kebahagiaan gue itu ... elo," gumam Gavin sambil mengusap lembut wajah Diva.

"Gav?" Tubuh Diva bergetar, ia memberanikan diri menatap manik hitam Gavin dengan jarak pandang cukup dekat. "You know, we didn't make it."

Gavin mendesah, ia mengacak rambutnya frustrasi dengan sorot nanar. "But, i love you," ujarnya, sedetik kemudian Gavin mengecup bibir Diva, kontan tubuh gadis itu menegang saat merasakan ciuman pertamanya. "We can make it," ujar Gavin menyudahi ciumannya.

"Gavin?" panggil Diva dengan lirih. Rasanya berat sekali mengucapkan hal ini, tapi ia juga tak mau Gavin menjadi pembangkang hanya karena membela dirinya. "Kehadiran lo adalah anugerah buat gue. Beban hidup yang gue alami pun bisa teralihkan, karena lo selalu berusaha menghibur gue. Senyum dan tawa yang sempat lenyap, kini kembali hadir ketika gue melihat segala tingkah laku lo yang selalu bisa bikin gue ketawa."

Diva menyentuh wajah Gavin, ditatapnya iris hitam cowok itu lamat-lamat, kemudian ia mengembangkan senyum manis. "Lo adalah bintang yang paling terang dan cahaya yang terpancar dari pesona lo bisa menarik semua rasa kagum bagi siapa pun yang melihatnya." Diva menjeda sembari mengembuskan napas berat. "Bagai pungguk merindukan bulan, menggapai lo hanyalah angan yang gak mungkin bisa gue gapai."

🍭🍭🍭

Published : 23 Mei 2020

Vote + Comment

Love,

Max

Shining Star [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang