🍭🍭🍭
"Ah! Otak gue kenapa, sih? Susah banget diajak mikir?" Diva menggerutu dan mengacak rambut. Ia menatap layar laptop yang menunjukkan halaman kosong dengan kursor yang terus berkedip.
Diva berdecak sebal, sedari tadi berusaha mengetik bab baru untuk naskah novelnya, tapi ia mengalami writer's block. Sudah satu jam lebih ia berada di posisi yang sama, mencari ide, namun setiap mengetik satu-dua kalimat, langsung dihapusnya lagi.
Diva menyerah kemudian mematikan laptop itu tanpa menghasilkan apa pun. Ia merebahkan diri di kasur dan memejam, berusaha menenangkan pikiran yang membuatnya pusing. Namun, keheningan malam terbuyarkan oleh pesan di ponsel Diva. Kontan, Diva meraih ponsel yang tergeletak di dekatnya dan seketika ia tersenyum.
Gavin Auriga
Div, turun gih
Abang ojek di depan rumah lo
Jangan bikin doi nunggu
Biar gue aja yang nunggu loDiva terkekeh geli, namun juga senang dipertemukan dengan Gavin. Setidaknya, Gavin bisa menemani saat Diva berada di situasi yang menjenuhkan. Bukan berarti ia melupakan Aqilla, tapi gadis itu sedang sibuk dengan pacarnya, Alvin.
Benar kata pepatah, tangis akan tergantikan dengan tawa. Terima kasih, Gavin, untuk kebahagiaan yang telah kau berikan padaku.
Chat itu ditinggalkan dengan tanda read. Diva turun ke lantai bawah berbarengan saat bel rumah ditekan beberapa kali. Ia membuka pintu dan mendapati pengemudi ojek berusia sama dengannya dan berwajah lumayan tampan, menyerahkan kantong plastik kepadanyaa. Diva tak lupa mengucap terima kasih, lalu kembali masuk ke rumah. Ia meletakkan bungkusan itu di meja ruang keluarga, dan memfoto isinya untuk dikirimkan pada si pengirim
Alisha Diva
Paket udah gue terima
Thanks, Gavin
Lo baik banget ❤Saat memakan satu slice martabak cokelat, ponsel Diva kembali bergetar. Pesan itu sukses membuat hatinya berbunga-bunga.
Gavin Auriga
Gue emang baik
Lo aja yg baru nyadar😋
Oh iya, gue mau bilang
Manisnya martabak, tetep lebih manis senyum gue, kan?
Wkwkwk
Enjoy it, Div 🖤Seketika Diva berdecih, namun senyum manis terlukis di bibirnya. Ia tak tau lagi harus merespons chat Gavin seperti apa, karena isi chat cowok itu selalu membuatnya kalang kabut, menerka-nerka apakah Gavin hanya bercanda atau memang memiliki rasa untuknya?
Tapi, sepertinya opsi kedua tidak mungkin terjadi, karena Gavin cukup populer di kampus dan banyak perempuan yang lebih dari Diva, dilihat dari segi apa pun. Tuh, kan! Insecure lagi!
Helaan napas berat keluar dari mulut Diva, kini ia beralih membuka chatroom Gibran.
Alisha Diva
Gib, ada martabak nih.
Sini turun.
Jangan nge-game mulu!Gibran Samuel
Ashiap, meluncurrr
Tiga slice martabak telah disantap Diva. Demi apa pun, ia sangat menyukai martabak cokelat! Seketika, matanya menangkap sosok Gibran berlari menuruni tangga sambil memegang ponsel. Cowok itu menghampiri dan langsung mencomot satu slice martabak yang habis dalam satu gigitan.
"Buset! Rakus amat lo, Gib!"
"Laper!" Gibran mengambil slice kedua dan duduk di sebelah kiri Diva. "Lo beli di mana?"
"Dikirimin temen."
"Hah?" Gibran melongo, pasalnya ia jarang sekali mengetahui ada yang peduli pada Diva, kecuali Aqilla. "Siapa? Oh, Kak Aziel, ya?"
Mendengar nama Aziel disebut, kontan tawa Diva sirna. Wajahnya berubah masam. Ia menarik secarik tisu dan membersihkan jari-jarinya dari lumeran cokelat. "Gue udah putus. Mulai sekarang jangan bahas dia lagi."
Paham dengan sifat sang kakak, Gibran mengangguk saja. Ia kembali memainkan game di ponselnya sambil menyantap martabak. "Papa sama Mama gak lo tawarin?"
Diva menepuk kening, merasa berdosa karena telah melupakan mereka. Lantas, ia bangkit dan bergegas menuju kamar di dekat tangga sambil membawa sekotak martabak. Ketika membuka kenop pintu, ia tak sengaja mendengar obrolan orangtuanya dari celah pintu.
"Ma, kita baru bayar seratus juta, dan uang tabungan kita sisa sedikit. Kita gak bisa pake semuanya hanya untuk bayar utang," ujar Affandi dengan suara berat sambil menatap buku tabungan.
Elvina mengusap tangan Affandi, berusaha menenangkan suaminya. Selimut tebal menyelimuti hingga sepinggang, menandakan mereka bersiap untuk tidur. "Jangan khawatir, pasti ada jalan. Kita usaha dulu, jual semua barang yang gak terpakai untuk menutup pinjaman."
Affandi mengangguk, lalu memeluk sang istri dengan erat. Terlihat raut wajah Affandi yang menyesal karena telah mengacaukan ketenangan keluarganya. Seketika manik hitam Affandi dari balik kacamata menangkap sosok Diva di ambang pintu. "Diva, belum tidur, Nak?"
Diva menggeleng, kemudian melangkah masuk. "Diva bawain martabak," ujarnya. Ia meletakkan kotak itu di atas selimut. "Dikirimin temen."
"Siapa?" Affandi penasaran sambil melahap martabak itu dalam sekali suap. "Aziel?"
Diva tersenyum masam, lalu menggeleng pelan. "Diva udah putus," jawabnya, orangtuanya terdiam. Elvina mengambil tisu di meja yang ada di sebelah kasur lalu membersihkan tangannya. Setelah itu, ia mengelus tangan Diva dengan lembut. "Percaya, Tuhan akan mengganti dengan yang lebih baik," ujarnya. Diva mengangguk.
"Pa?" Diva memberanikan diri untuk mengutarakan hal yang sedari tadi memenuhi pikirannya. Ia menggigit bibir bagian bawah lalu menatap kedua netra orangtuanya dengan intens. "Diva pengin bantu kalian, tapi karena Diva belum kerja, jadi ... boleh gak mobil Diva dijual?" tanyanya dengan hati-hati. Ia takut menyinggung perasaan mereka.
Affandi menghela napas berat, kemudian mengembuskan dengan perlahan. "Kamu nanti ke kampus naik apa?"
"Kan, masih ada motor, atau naik ojek juga bisa," jawab Diva sambil menyengir. Ia berusaha menyembunyikan kesedihannya.
Affandi dan Elvina bertukar pandang. Affandi meraih tangan putrinya dan mengusapnya dengan lembut. "Makasih ya, Diva, untuk pengertianmu. Papa janji, setelah punya uang, Papa akan belikan mobil buat kamu," ujarnya, Diva mengangguk dan terus tersenyum. "Papa akan berusaha membahagiakan kalian, meski harus berkorban mati-matian. Kebahagiaan kalian adalah tanggungjawab sampai akhir hayat Papa."
🍭🍭🍭
Published : 28 April 2020
🍭🍭🍭
Jangan lupa vote dan komen, ya.
Love,
Max
KAMU SEDANG MEMBACA
Shining Star [Completed]
Romansa[FOLLOW SEBELUM BACA] Genre: Romance - Young Adult | 17+ Gavin melemparkan tusuk permennya ke bawah dan hampir saja mengenai kepala seseorang. "You know, life's a beautiful struggle. Hidup kadang terasa gak adil. Tuhan sengaja mengirim cobaan untuk...