19. Special Gift

373 53 1
                                    

🍭🍭🍭

Detik jam dinding menggema di penjuru kamar, jarum jamnya menunjukkan pukul satu malam. Saat semua penghuni rumah terlelap, Diva masih berkutat dengan skripsinya. Ia tak bisa tidur nyenyak, karena esok ujian sidang skripsi. Baju seragam putih hitam telah disiapkannya.

Lembar demi lembar dibaca, pasal per pasal dihapal, mengantisipasi jika dosen penguji menyuruh menjelaskan tentang penelitiannya, ia harus siap dan bisa menjawab dengan yakin. Kantuk yang melanda tak dirasanya, karena dua gelas kopi sudah diminumnya agar bisa berjaga malam ini. Diva ingin melakukan yang terbaik dan memberikan hasil yang baik pula.

Doa restu keluarga juga menyertai, membuat Diva semakin bersemangat menjalani ujian besok. Meskipun ia mendapat dua dosen penguji yang terkenal killer, namun Diva yakin ... akan bisa menghadapi mereka. Intinya, kuasai materi maka ujian pun akan lancar.

Atensi Diva teralih pada pemberitahuan di ponselnya. Ia membaca pesan di layar itu, seketika tubuhnya menegang. Ia berjingkrak kesenangan sampai menitikkan air mata. Diva memeluk ponselnya dengan erat, menumpahkan segala kebahagiannya. Selama ini, yang diharapkan akhirnya tercapai juga. Naskah novel yang dikirimnya satu bulan lalu, telah diterima dan disetujui pihak penerbit untuk diterbitkan di sana. Demi Tuhan, Diva bahagia sekali!

Pemberitahuan itu semakin menambah semangat Diva untuk menjalani esok hari. Pelan-pelan, Diva mulai mendapatkan apa yang ia inginkan, di samping ia juga harus bekerja super extra untuk membantu keluarganya.

Seketika Diva termenung teringat sosok Gavin, yang selama dua minggu terakhir ini ia dan cowok itu telah lost contact. Diva membuka Line-nya yang hanya terdapat pesan Gavin. Pesan itu tidak dibukanya, hanya dilihat kapan terakhir mereka chattingan. Diva mendesah, sebenarnya rindu dengan kehadiran cowok yang selalu membuatnya tertawa, namun ia masih sakit hati dengan perlakuan Gavin tempo hari.

Diva menghela napas berat, ditutupnya bundel skripsi itu, kemudian dimatikan lampu kamar dan bergegas menuju kasur. Diva terdiam, pikirannya kembali pada memori beberapa minggu lalu ketika bersama Gavin di perpustakaan. Cowok itu sempat berkata akan menjadi pembeli pertama yang akan membeli novelnya.

Diva tersenyum getir, disentuhnya dadanya yang merasa hampa tanpa hadirnya Gavin. Ia membuka gallery dan men-scroll, gerakkannya terhenti pada foto Gavin yang disimpannya secara diam-diam. Diusapnya layar ponsel itu dengan rasa sesak yang menyeruak, ia bergumam, "how are you doing in there? I miss you."

🍭🍭🍭

"Terima kasih kepada Bapak Karno, Ibu Indri, dan Ibu Selly yang telah hadir menguji saya. Sekian presentasi skripsi saya, apabila terdapat salah dalam kata atau perbuatan, saya mohon maaf." Diva menutup ujian sidang itu sambil tertunduk sopan. Sedetik kemudian ruangan riuh dengan suara tepuk tangan. Diva mendongak dan menatap ketiga penguji yang berdiri dan tersenyum ke arahnya.

Bu Selly mengacungkan jempol dengan raut bangga. "Presentasi kamu sangat bagus,  kamu bisa menguasai seluruh isi skripsi ini dan menjawab semua pertanyaan kami dengan baik. Selamat atas gelar barumu, Alisha Diva, Sarjana Hukum."

Diva menatap haru dengan kedua tangan menutup mulutnya. Ujian itu kini telah usai, Diva menyalimi ketiganya dan memberikan mereka sebuah bingkisan sebagai rasa terima kasih karena telah bersedia mengujinya. Kini, saat Diva keluar dari ruangan, Aqilla dan beberapa temannya datang menyambut. Mereka memberikan Diva buket bunga dan jajanan yang dikalungkan di leher gadis itu. Euphoria yang sangat mengharukan. Aqilla terus memeluk Diva, karena bangga temannya itu bisa menyelesaikan studi tepat waktu.

"Selamat, Div, untuk gelar barunya." Rika menyalami Diva dan memberi buket bunga flanel kemudian berfoto bersama. Diva tersenyum bahagia menatap teman-temannya yang menaruh perhatian padanya. "Thanks guys."

Aqilla memeluk Diva lagi. "Gue juga pengin cepet sidang ih."

Diva terkekeh melihat raut Aqilla yang tertekuk tapi terkesan menggemaskan. "Makanya, skripsi jangan dianggurin. Lo sih ... pacaran mulu sama Alvian."

Aqilla memukul lengan Diva. "Mana ada! Gue juga ngerjain terus kok. Bu Emma aja yang susah banget ditemuin."

"Gak usah ngeluh, jalanin aja. Nikmati prosesnya, usaha gak akan mengkhianati hasil," ujar Diva menasihati. Kini pandangannya teralih pada cowok yang berdiri di depannya sambil membawa buket bunga mawar asli. "Gavin?"

Gavin tersenyum simpul, diserahkan buket itu pada Diva. "Congrats, Div."

"Thanks." Diva menerima buket itu dengan kikuk, kemudian diserahkan beberapa hadiah dari temannya itu kepada Aqilla. "Lo kapan sidang?"

"Lusa," jawab Gavin. Diva mengangguk saja. Suasana canggung menyelemuti keduanya. "Div, lo udah gak marah kan, sama gue?"

Diva menghela napas berat, ditatapnya manik hitam berkacamata itu. Ia berusaha mati-matian bersikap biasa saja di depan Gavin, padahal dalam hati rasanya ingin berteriak dan melepas kerinduannya pada cowok itu. "Gue gak marah."

Gavin tersenyum manis. "Can we take a picture?" tanyanya, Diva mengangguk pelan. Aqilla dipanggil untuk memfoto keduanya. Setelah mengamati hasil foto di ponsel Gavin, kini, cowok itu menggamit tangan Diva. "Ikut gue, yuk?"

Keduanya menuruni tangga dan kini berdiri di hall , tepatnya di depan sedan putih yang terparkir di depannya. "Kado buat lo."

Diva bingung, irisnya beralih pada objek yang dimaksud. Sedetik kemudian, ia ternganga. "Gav, ini kan ...."

"Bokap yang beli mobil lo," jawab Gavin. "Waktu itu, gue gak sengaja lihat iklan mobil lo, terus gue minta bokap untuk beli ini." Diva masih diam. "Sekarang gue pengin balikkin mobil ini. Anggap aja, hadiah dari gue buat lo."

Diva membalas tatapan Gavin dengan sorot tak percaya, apa lagi saat cowok itu menyodorkan kunci mobil ke arahnya. Diva mundur dua langkah, kemudian menggeleng pelan. "Sorry, Gav. Gue gak bisa terima."

"Kenapa?" Senyum Gavin pudar, tatapannya berubah tajam. Sementara Diva mengalihkan pandangan, berusaha menahan air matanya. "Div, lo bilang ... lo udah gak marah kan? Sekarang, kenapa lo gak mau terima hadiah dari gue?"

"Karena gue gak pantes untuk terima ini, Gav." lirih Diva dengan frustrasi. "Gue pernah bilang ke lo, meski gue ada di titik terendah di hidup gue, gue bukan orang yang terima sesuatu dengan cuma-cuma tanpa ada kerja keras gue di dalamnya."

"Gue gak butuh imbalan dari lo. Gue ikhlas—"

"Thanks, buat niat baik lo, tapi, gue beneran gak bisa terima." Hendak melangkah, namun pergelangan tangan Diva langsung dicekal oleh Gavin. "Kenapa lagi, sih?"

"Lo bilang, lo gak mau terima pemberian tanpa ada sesuatu yang bisa lo kasih, kan?" Gavin mengulang, Diva diam. "Kalo gitu gue minta lo jadi pacar gue."

🍭🍭🍭

Published : 4 Mei 2020

Vote + Comment

Love,

Max

Shining Star [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang