🍭🍭🍭
"Kak Gavin? Ngapain ke sini?" tanya Gibran ketika mendapati Gavin berdiri di depan rumahnya. Gibran menyerahkan meja ruang tamu kepada lelaki berbadan gempal yang berdiri di atas pick up. "Nyariin Kak Diva?"
Gavin mengangguk, manik hitamnya terus
mengamati ketiga lelaki yang keluar masuk rumah itu sambil mengangkut beragam perabotan. "Rumah lo udah laku?" tanyanya, Gibran mengangguk."Kak Diva lagi sibuk, lo tunggu aja. Nanti juga bakal keluar. Bentar lagi beres kok," ujar Gibran dengan helaan napas yang kasar dan peluh membasahi wajah tampannya. "Gue masuk dulu, Kak."
"Loh, Gavin?" Diva yang berada di teras rumah dengan membawa beberapa tas yang diletakkan di lantai, menatap Gavin dengan sorot heran. Gavin langsung menghampiri Diva dan diambilnya tas-tas itu, namun Diva menahannya. "Eh, gak usah, Gav. Gue bisa sendiri kok."
"Jangan halangin gue untuk bantu lo," jawah Gavin dengan suara datar, dijinjingnya ransel, koper dan tas gunung itu, lalu diserahkan pada lelaki pendek dan diletakkan di sudut mobil. "Lo kenapa gak kasih tau gue, kalo mau pindahan?"
Diva bersedekap dada sambil menekuri sepatunya. "Gue gak mau ngerepotin lo."
Helaan napas diembuskan secara kasar oleh Gavin. Ia menepuk pundak Diva dan ditatapnya gadis itu lamat-lamat. "Berapa kali gue harus bilang, gue gak pernah keberatan bantuin lo. Jangan pernah mikir lo ngerepotin gue. Gue gak suka dengernya," lirih Gavin, tangannya merogoh saku celana lalu diusapnya keringat Diva dengan saputangan.
"Gav." Diva hendak menghindar, namun ditahan dengan rengkuhan tangan Gavin di pinggangnya. Diva mengalihkan pandangan, tak kuasa bertatapan dengan jarak yang cukup dekat.
Suara dehaman menginterupsi, membuat Gavin dan Diva otomatis kembali menjarak. Keduanya terlihat gugup ketika dihampiri oleh Elvina dan Affandi. "Jangan pegang-pegang, bukan mahram," ujar Elvina dengan suara datar dan sorot tegas.
Gavin mencium tangan Elvina dan Affandi. "Saya mau bantu, boleh kan, Tan?"
"Boleh banget lah!" Gibran menginterupsi, ia memanggul tas di punggungnya dan dua tas di tangannya. "Orang yang nawarin bantuan, gak boleh ditolak. Ya kan, Ma?" tanyanya, dijawab anggukan wanita itu.
"Bu, ini barang-barangnya udah semua?" tanya pria berkepala plontos yang berdiri di sisi mobil.
"Sudah," jawab Elvina sambil mengangguk. "Jalan duluan aja, Pak," titahnya, kemudian dua lelaki itu masuk ke mobil sementara yang satunya lagi berdiri di atas bak pick up. "Diva, kamu udah pesan taksi belum?"
Diva menggeleng, buru-buru ia keluarkan ponsel dari saku celananya. Saat hendak mencari titik penjemputan, Gavin langsung merampas ponsel Diva. "Bareng gue aja."
"Tap—"
"Thanks, Kak Gavin!" Gibran menyahut bahagia. "Ayo, Ma, Pa, kita masuk."
Elvina menatap Gavin sejenak, kemudian beralih pada Diva yang menggeleng padanya. "Boleh kami menumpang?" tanyanya, Diva langsung menepuk kening dan mengalihkan pandangan. Gavin mengangguk antusias. "Terima kasih, ya."
Gibran dan Gavin membantu menggendong Affandi untuk duduk di kursi baris kedua, lalu Gibran memasukkan kursi roda milik Papanya ke bagasi mobil dan langsung duduk di kursi paling belakang. Gavin meraih tangan Diva, lalu dielusnya dengan lembut. "Yuk, Div?" ajaknya, Diva pasrah saja, saat pintu mobil dibukakan oleh Gavin.
Suasana hening, hanya terdengar backsound game yang dimainkan Gibran saja. Gavin sibuk dengan kemudinya, sementara Diva mengamati jalanan kota dengan pandangan kosong.
"Gavin udah skripsi belum?" tanya Affandi basa-basi, supaya suasana tidak terlalu sunyi.
"Sudah, Om, masuk bab 3," jawab Gavin sambil melirik Affandi dari kaca spion.
"Diva juga sudah selesai skripsinya. Kapan ujian sidang, Div?" tanya Elvina.
Diva melirik, lalu mengubah posisi duduknya agar lebih nyaman. "Masih bimbingan, Ma. Doain aja biar bisa cepat maju."
Elvina mengangguk, diusapnya tangan Affandi dengan penuh kasih sayang. Kini, rumah penuh kenangan sudah laku terjual dan mereka siap menjalani kehidupan baru, di rumah yang baru. Elvina akan selalu mencintai Affandi, bagaimana pun kondisi pria itu saat ini.
"Div, rumah lo di mana?" Gavin menoleh.
Diva memicingkan matanya menatap maps di ponselnya. "Perumahan Prima Utama," jawabnya dengan pelan namun tetap terdengar oleh Gavin.
"Serius, Div?" tanya Gavin dengan shocked, Diva mengangguk. "Ya ampun, itu mah tiga blok dari rumah gue!"
"Tetanggaan dong kita, Kak?" Gavin menginterupsi di sela permainannya. "Kalo gitu, Kak Diva bisa berangkat kuliah bareng lo?"
Diva langsung menoleh ke belakang dengan tatapan sengit. "Gib, jangan mulai!"
"Kalo Diva-nya mau sih, gak masalah." Gavin menimpali dengan seringai, ia mengerling saat Diva menatapnya dengan jengah. "Lo mau, kan?"
"Kak Diva mah gak bakal nolak."
"Gibran!"
"Gibran! Diva!" Elvina menengahi, kontan kedua anaknya terdiam. "Jangan bertengkar hanya karena masalah sepele, kalian udah gede, udah gak waktunya berantem kayak gitu. Paham?"
"Paham, Ma," jawab Diva dan Gibran berbarengan.
"Gib, itu perumahannya." Diva menunjuk gerbang perumahan bercat hitam, kemudian Gavin memberi salam hormat pada satpam yang berjaga.
"Siapa, ya?" tanya Parno, satpam berusia sekitar 50 tahunan mengintip ke dalam mobil.
Affandi segera membuka kaca jendela di sisinya, kemudian mengulas senyum ramah. "Kami penghuni baru di sini, Pak. Kami menempati rumah blok A-5."
"Oh, Bapak Affandi, ya?" tanya Parno, dijawab anggukan Affandi. "Silakan masuk, Pak. Rumahnya nomor 5 dari sini, di sisi kiri."
"Terima kasih, Pak," ujar mereka bersamaan, Gavin kembali melajukan mobil dengan kecepatan kecil.
Kini, mereka telah sampai di rumah yang dimaksud, yang terdapat dua pick up di depannya. Gavin dan Gibran membantu Affandi dan didudukkan lelaki itu di kursi rodanya. "Terima kasih Gavin, untuk bantuannya," ujar Affandi, direspons anggukan dan senyuman oleh Gavin, kemudian Elvina mendorong kursi roda itu memasuki rumah baru mereka.
Gibran dan Gavin membantu ketiga lelaki itu menuruni lemari dan dimasukkan ke kamar utama, sementara Diva membawa barang-barang yang tak terlalu berat. Saat Gavin keluar dan berpapasan dengan Diva, ia langsung menggiring Diva ke sudut rumah. "Div?" Gavin menatap Diva dengan intens.
"Kenapa, Gav?" Diva mengernyit melihat genggaman tangan Gavin yang cukup kuat.
"Semakin lama kenal lo, gue semakin yakin sama kata hati gue." Gavin menjeda dan mengembuskan napas berat. "Bis gak, gue jadi orang yang selalu ada di pikiran lo, di setiap detik dan di setiap langkah lo?"
🍭🍭🍭
Published : 1 Mei 2020
Vote + Comment.
Love,
Max
KAMU SEDANG MEMBACA
Shining Star [Completed]
Romansa[FOLLOW SEBELUM BACA] Genre: Romance - Young Adult | 17+ Gavin melemparkan tusuk permennya ke bawah dan hampir saja mengenai kepala seseorang. "You know, life's a beautiful struggle. Hidup kadang terasa gak adil. Tuhan sengaja mengirim cobaan untuk...