BAB 4: Luka.

70.1K 6.6K 683
                                        

"kalau disuruh memilih, mana yang akan kau pilih: luka yang berdarah atau luka yang tidak berdarah?"

💔💔💔

Kenziano memacu kecepatan kendaraan-nya. Dalam hati ia berdo'a semoga Alena baik-baik saja. Sesampainya di halte tempat Alena berada, ia segera turun dari motor bergegas menghampiri Alena yang sedang duduk.

"Alena, kamu nggak papa 'kan?" Tanya Kenziano panik.

Alena berdiri, terkekeh pelan membuat Kenziano mengernyit bingung. Bisa-bisa nya cewek ini tertawa padahal ditelepon tadi ia mengatakan sedang di ganggu seseorang.

"Kamu lucu, ya, Ken. Tadi tuh aku cuma bercanda biar cepet datangnya, soalnya dari tadi nggak ada angkot yang lewat. Udah malem juga, jadi aku rada takut, sih. Dan benar 'kan dugaan aku, kamu datengnya cepat." Jelas Alena.

Kenziano mencerna semua ucapan yang Alena katakan. Dengan seenaknya cewek itu berkata bahwa ia hanya mengerjainya? Dan, dengan bodohnya ia meninggalkan Anna yang posisinya pasti saat ini lebih bahaya dari Alena. Alena yang melihat raut wajah Kenziano menghentikan tawanya.

"Kamu kenap--"

"Bercanda kamu bilang? Bercandaan kamu nggak lucu, Alena! Demi kamu, aku bela-belain dari Bekasi langsung kesini!" Suara Kenziano naik satu oktaf. Wajahnya merah menahan amarah.

"Aku kan nggak tau kalo kamu lagi di Bekasi. Aku kan cuma bercanda doang, kenapa kamu jadi marah-marah? Biasanya juga biasa aja." Balas Alena sewot.

"Bukan itu yang bikin aku marah! Demi kamu, aku ninggalin Anna sendirian di Bekasi. Aku pikir kamu beneran di ganggu orang, tapi nyatanya kamu malah bercanda...," Kenziano menggelengkan kepalanya. "Dan, itu sama sekali nggak lucu."lanjutnya.

Mata Alena terbelalak. Jadi, Kenziano sedang pergi bersama Anna adiknya? Ia sama sekali tidak mengetahuinya. Ia pikir tadi Kenziano sedang sendirian maka dari itu ia bercanda seperti tadi. Jika tahu bahwa Kenziano sedang pergi bersama adiknya ia tidak akan berbuat seperti tadi, dan kini perbuatannya membuat adik perempuannya sendirian dibawah langit malam. Karena sedari pagi Alena latihan cheers maka dari itu ia tidak tau kalau Anna pergi bersama Kenziano.

"A--aku nggak tau kalo kamu lagi sama Anna." Ucapnya jujur.

Kenziano memejamkan matanya sesaat, mengontrol emosinya agar mereda. Kenziano menatap Alena yang kini juga sedang menatapnya dengan tatapan meminta maaf dan menyesal.

"Aku anter kamu pulang." Kenziano menggenggam tangan Alena lembut.

Kenziano sudah duduk diatas motor, mengulurkan helm pada Alena. Alena menerimanya walaupun sedikit ragu. Ia masih memikirkan keadaan Anna. Apakah adiknya itu baik-baik saja?

"Ayok naik, kenapa malah berdiri disitu terus?"

"E--eh, gimana dengan Anna?"

"Nggak usah khawatir, abis ngenterin kamu, aku jemput Anna."

Alena mengangguk singkat. Walaupun masih gelisah memikirkan Anna dan perasaannya yang tiba-tiba tidak enak. Semoga tidak terjadi apa-apa pada adiknya itu. Alena menaiki motor Ninja biru milik Kenziano, setelahnya motor itu membelah jalanan ibu kota Jakarta.

***

Dilain tempat, namun diwaktu yang sama. Seorang gadis berjalan dipinggir jalan kota Bekasi yang sangat sepi. Mungkin, karena sudah malam jadi wajar saja. Sepajang jalan Anna tak henti-hentinya mengumpat karena rasa kesalnya tidak tersalurkan. Ingin rasanya ia membunuh orang, jika tidak mengingat dosa.

"Hallo, neng. Malem-malem kok jalannya sendirian aja, sih? Mau Abang temenin nggak, neng?" Ucap salah satu pria asing.

Anna mengangkat satu alisnya, memasang wajah jutek. Dengan masa bodonya ia kembali melanjutkan jalanya. Namun, baru beberapa langkah tangannya sudah dicekal seseorang. Anna menghempaskan tangan itu kasar membuat cengkraman itu terlepas, tetapi kali ini dua pria asing menjegatnya.

In The Name Of LoveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang