Chapter 8: Disappointed

751 44 0
                                    

Mataku langsung bertatap-tatapan dengan mata elang itu. Angga, aku menabraknya atau bisa di bilang ia menabrakku. Tanpa basa-basi ia menarik tanganku kasar membawaku entah kemana. Aku hanya pasrah jika di bunuh hari ini.

"Anda telat" hanya dua patah kata yang ia keluarkan, ia membawaku ke dalam lift, setidaknya aku tak harus berususah payah mencari dimana ruang kerjanya. Lantai 50, entah itu tempat apa tapi tempatnya begitu terang semua sisinya terlapisi dengan kaca, sebenarnya tempat ini bagus untuk bunuh diri. Aku diam mengikuti Angga akan membawaku kemana.

Ruang rapat. Kami rapat. Aku membantunya dengan berkas. Mendengarkan presentasi bawahannya. "Anda siapa?" Pandanganku beralih dari mendengarkan Angga mencari sumber suara yang bertanya tadi. Dia duduk tepat disebelahku, mungkin ia heran karena aku begitu membantu bos nya untuk rapat hari ini. "Saya pengganti sekertaris" ia tertawa mendengarnya. Apa salahnya?

"Pengganti sekertaris atau simpanan? Tuan Angga tidak mungkin memilih sekertaris yang tidak kompeten" Matanya meneliti tubuhku dari atas hingga bawah, ia tertawa hingga mengganggu rapat hari ini. "Keluar!" Suaranya tenang namun tegas, Angga marah.

"Keluar atau ini hari terakhir anda bekerja" Aku menatap Angga heran, ia bisa dengan mudah mengeluarkan seseorang dari perusahannya, tak heran jika ia mudah sekali bersikap kasar terhadapku. "Anda memecat saya?" Sepertinya orang disampingku sudah tidak waras, ia seolah menyepelekan ucapan Angga. Andai aku punya kekuatan dan keberanian seperti itu mungkin sedari awal aku tidak akan terjebak bersamanya.

Rapat berakhir dengan Angga yang berujung emosi, ia membunuh salah satu pegawai nya menggunakan pisau dan mayatnya di buang ke bawah. Tempat yang cocok untuk bunuh diri.

Angga menatapku tajam, tangannya menarikku menuju tempat dimana ia membuang mayat tersebut. "Lihat?" Mayatnya hilang, dalam sekejap tidak ada sisa jejak pembunuhan, ini menyeramkan. "Kau akan mati dengan cara itu" Angga pergi setelah sempat mendorongku, sedetik saja aku kurang peka mungkin aku sudah lenyap seperti mayat-mayat yang pernah Angga bunuh.

4 jam berlalu, Angga tidak keluar ruangannya kecuali untuk meminta dipesankan makan siang. Tugasku sudah dikerjakan semua oleh Radyana, sebenarnya tugasku disini untuk apa? Sebagai pajangan? Atau untuk menurunkan harga diriku sendiri? Mataku terpejam sebentar mengingat semua yang telah ku lakukan.

"Permisi" Sial aku butuh tidur sejenak, aku mencoba menata emosi dan pikiranku untuk tidam membunuh orang yang menggangu. Mataku terbuka menatap wajah nya, ia menunggu sesuatu hingga aku tersadar "Alex? Ada apa?" Ia tersenyum, "Apa Angga di dalam?" Hanya anggukan sebagai jawabannya.

Tak lama Angga keluar bersamaan dengan Alex dan datangnya Axel. Ketiganya menatapku seolah ada perang batin di antara ketiganya. "Ayo, pulang" hanya itu sebelum ia menarik tanganku kasar sampai rasanya kakiku tidak bisa lagi mengikuti langkah kakinya yang cepat.

"Radyana! Kunci mobil" Angga menyetir malam ini memecah heningnya malam membawa ku entah kemana. "Bandara?" Dugaan ku tidak mungkin salah, bandara sudah menjadi hal yang paling membosankan bagiku. Ia memarkirkan mobilnya tak jauh dari pintu keberangkatan. Ia tidak berkata apapun hanya berlari menuju pintu kedatangan.

"ANGGA!" Aku mencoba meneriakkan namanya, ia berlari terlalu cepat sampai rasanya susah untuk mencari tubuhnya di antara jutaan manusia yang silih berganti keluar masuk bandara. Sampai ia berhenti tepat di hadapan pintu kedatangan memeluk seseorang kemudian mengecupnya dan kemudian memeluknya lagi.

Aku benci ini, aku benci perasaan ini. Aku benci air mata ini, aku benci diriku. Air mataku tak bisa di bendung lagi entahlah aku berprasangka bahwa ia adalah salah satu kekasih Angga, aku tahu prasangka ini memang buruk tapi rasanya sulit sekali untuk menyangkal jika ia bukan kekasihnya.

Kakiku berjalan mendekatinya, mencoba meraih tangan Angga meminta kepemilikan ku atasnya agar tak di rebut orang lain. "Siapa?" Hanya itu yang bisa terlontar dari mulutku, bahkan aku tidak mencoba memisahkan keduanya dari saling berpelukan erat. "Halo, kamu pasti Rena ya?" Aku menatapnya heran, memangnya ia siapa hingga tahu namaku.

"Maaf saya lancang memeluk, mencium, atau apapun ke suami anda. Maaf sekali lagi, saya Gita sepupu Angga" Aku terdiam mencoba mencerna semuanya menelan semua prasangka ku yang salah. "Love, she's just part of my family" Angga mengecup bibirku sekilas kemudian mengeluarkan tisu membersihkan bekas air mata yang masih menggenang sebelum membantu Gita membawakan barangnya menuju mobil.

Badanku kaku seperti patung mendapat perlakuan Angga, perkataannya yang tak seperti biasanya membuatku tak bisa berhenti tersenyum. "Maaf tidak muncul di hari pernikahan kalian" Gita menatapku tersenyum menenangkan ku dari kehangatan tangannya yang menggenggam tanganku erat. "Tidak apa-apa, lagipula tak perlu minta maaf" Gita memelukku lagi sebelum mengikuti langkah Angga menuju mobil.

"Aku duduk belakang saja" Aku menepis tangan Gita yang berniat membuka pintu belakang. "Wait, No!" Aku mengangguk meyakinkan Gita agar tak berkompromi. Gita mengikuti keinginan ku lagi pula jika aku duduk di depan, Angga sepertinya akan kerepotan membuat skenario percintaan dadakan.

"Kenapa baru pulang sekarang?" Angga mencoba memecah susasana, ia mengemudikan mobilnya dengan kecepatan pelan. Ia seolah sengaja ingin berlama-lama dengan Gita. "Awalnya memang aku berniat pulang tahun lalu kemudian menetap di Indonesia bahkan saat aku menerima undangan pernikahan kalian rasanya aku bahagia sekali, namun saat itu Richard tak bisa aku tinggal. Bahkan aku harus sampai sujud di hadapannya agar diberi kesempatan pulang namun, lagi-lagi Richard menolak"

Angga menghentikan mobilnya sejenak, ia seperti tak terima mendengar alasan Gita yang menunda kepulangannya. "Lalu kenapa akhirnya kau bisa pulang?" Gita terdiam kemudian terisak, ia mencoba melanjutkan kisahnya tapi tangisannya lebih mendominasi. Dan Angga? Ia langsung memeluk Gita menenangkan wanita itu agar pikirannya tenang.

"Richard dibunuh Max" Angga langsung menjauhkan diri dari Gita mencoba untuk meminta penjelasan lebih lanjut mengenai kebenaran ucapan Gita sebelumnya. "Max? Bukankah dia?" Gita mengelak mendengar kelanjutan ucapan Angga, ini semakin menarik perhatian ku. "Max? Max Rillaine?" Aku mencoba mengingat semua manusia bernama Max yang sekiranya ada sangkut pautnya dengan Angga.

Gita menatapku tak percaya, ia mengangguk sebagai pertanyaan ku atas nama kepanjangan Max "Dia sudah mati Gita, berhenti menghayal, ia yang membunuh dirinya di hadapanku!" Gita semakin kencang menangis dan Angga menatapku semakin tajam.

Max Rillaine, seorang Co-pilot yang meninggal karena memutuskan bunuh diri di penerbangan perdananya. Saat itu aku baru saja kembali setelah menggambil 2 minggu cuti untuk mengurusi keperluan Riana kuliah, saat itu Co-pilot yang biasa terbang bersamaku sedang ada tugas hingga akhirnya mereka memutuskan untuk memilih Max sebagai penggantinya. Max saat itu tampak tak bersemangat sama sekali melakukan penerbangan mungkin ia gugup karena hari itu memang penerbangan perdananya. Aku ingat, ucapannya melantur seperti sedang dalam pengaruh obat hingga satu kata keluar dari mulutnya "Mati" aku kira ia sedang membaca sesuatu dan ia berkali-kali mengucapkan kata "Mati" hingga ia memutuskan untuk melompat dari rooftop dan hari itu rooftop menjadi hal terkelam untukku. Andai aku bisa menolongnya mungkin ia masih bisa hidup sekarang menikmati jerih payahnya menjadi seorang pilot.


If you do love me, why don't you act like once?
-Rena-

Cold Jerk Husband [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang