Chapter 2: Who Are You?

1.1K 58 0
                                    

Aku menatap kesal semua orang yang telah aku percayai, bagaimana bisa lisensiku di hentikan untuk setahun. Aku hidup darimana? Mereka tahu tentang pernikahan yang begitu mendadak, bagaimana bisa mereka takut pada seorang Angga Dwipangga, aku tahu ia memang sangat berkuasa namun tidak begini caranya jika ingin bermasalah dengan seorang Rena. Setelah menyerahkan beberapa barang aku memutuskan untuk pulang menggunakan taksi dan menghubungi ibu agar tetap berjaga sehingga aku tidak terkunci di luar. 

"Iya, Angga masih bangun kayak nya lagi nungguin kamu" aku berteriak kencang membuat supir taksi menatapku bingung, jika ia berbuat satu hal yang tidak-tidak aku pastikan pisau besar akan menancap tepat didadanya. Di satu sisi aku senang ia masih bangun sehingga aku bisa menamparnya karena sudah seenaknya memutuskan untuk menghentikan pekerjaan yang begitu mulia. Tangan ku gemetar sebelum membuka pintu karena mata seorang Dwipangga sedang menatap mata mangsanya, ia berdiri tepat di hadapanku menunggu diriku untuk keluar dari dalam mobil. "Ini" Setidaknya ia masih baik membayarkan uang taksi dan tidak meminta kembalian, dasar orang kaya. "Keluar" Aku bingung, apa ia tidak punya kosa kata yang banyak sehingga hanya berkata beberapa patah kata dengan nada datarnya? Aku membencinya. Aku keluar dari mobil tanpa memedulikan matanya yang sedang mengekori ku, ia membantu membawakan koper yang seharusnya sudah berada di atas pesawat. "Bisa berhenti?" Aku menatapnya kesal, mengapa ia seperti seorang stalker sekarang?

"Mengapa? Takut" Aku menatapnya kesal, tangan ku sudah gatal ingin menamparnya sekarang juga, andai kata, ia bukan juara dalam berbagai macam bela diri mungkin aku sudah menghujani nya dengan sebuah tinju. "Saya ingin berbicara" Nada yang aku gunakan sedatar mungkin menyamai suranya yang mengerikan di telingaku. "Dikamar" Apa yang sekarang berada dalam rencanya, apa ia ingin membuatku bertekuk lutut kemudian aku menjadi wantia baik-baik yang akan akan menuruti semua keingnan nya? Oh tidak bisa Tuan Dwipangga. "Disini" Aku mulai keras kepala menunjuk sebuah sofa agar bisa berbincang tanpa harus diganggu semua orang, ia tidak peduli dengan tetap jalan menuju kamar. "Woy Angga!" Jurusku berhasil, ia menatapku dan kemudian yang tak kusangka ia menarik tangan ku kasar menuju kamar.

"Jangan sebut saya dengan nama depan" Ini sebuah prestasi bukan? Ini kalimat terpanjang yang pernah ia ucapkan. "Angga, Angga, Angga" Aku mengulanginya seolah tak bersalah, lalu aku harus memanggilnya dengan apa? Tuan? Kau kira aku pembantu? "Apa mau apa?" Aku menatap matanya, tak kusangka sebuah tamparan sudah mendarat tepat di pipi kiriku dan kemudian sebuah luka dari ujung bibir mulai mengeluarkan darah. "K..a..u?" Suaraku terbata-bata, aku tidak menyangka jika ia akan melakukan sebuah tindak kekerasan hanya karena aku memanggilnya dengan nama depannya. "Jangan buat saya marah" Matanya menatapku tajam, ia membuka pintu kamar dan menutupnya kencang. "Sudah saya peringatkan." Setelahnya ia pergi setelah memastikan semua barang yang berada di dalam koper tertata rapih di dalam lemari.

Esoknya aku menutupi pipi biruku dengan bedak, rasanya sakit tapi lebih sakit apa yang telah ia lakukan untuk menghancurkan ku. Aku berjalan menuju meja makan, seharusnya ia memesan hotel saja atau setidaknya acaranya berada di gedung, aku tahu rumahnya bagaikan istana itu sendiri tapi aku tidak ingin bertemu kedua mertuaku terlebih dulu di hari pertama. "Pagi" Ibu menatapku, aku benci tatapan kedua orangtuaku sekarang. Aku tahu, mereka berdua yang membuatku untuk berhenti bekerja menjadi pilot melalui Angga. "Kalian mau kemana hari ini? Ada rencana?" Ibunya menatap kami secara bersamaan, aku menatapnya mungkin ia punya rencana sendiri yang aku tidak tahu. "Ada kerjaan" Setidaknya sikap dinginnya tidak hanya terhadapku. 

"Alex dan Axel bisa mengantikan" Ayahnya bersuara, sekarang aku tahu ia mendapat sikap menyebalkan dari siapa. "Tidak" Ia menggebrak meja dengan kuat kemudian menggambil beberapa barang yang tertinggal dan pergi begitu saja, aku terdiam mentapnya. Aku menggambil kursi dan kemudian memakan sarapan pagiku, setidaknya hari ini aku punya tenaga untuk melawannya, tidak seperti semalam yang dengan enaknya ia bisa menamparku begitu saja.         "Pergi lagi?" Suara itu mengintrupsi sarapanku, aku menatap dua orang didepan ku yang dengan santai memakan makanannya tanpa memedulikan drama yang terjadi. 

"Ya?" Aku tidak sempat mendengar ucapan yang dilontarkan salah satu dari mereka. "Ah kami belum mengenalkan diri kami secara langsung ya? Saya Axel dan ini Alex, kami kembar. Salam kenal" Aku menatap keduanya, aku yakin jika kedua kembaran ini tidak kembar dan mereka adalah anak angkat, entahlah rasanya perasaan ku berkata begitu saja. "Apa dia sudah berbuat jahat?" Aku menatap Alex, tunggu dulu maksudnya dia siapa? Angga? Aku mengerti sekarang mereka tidak menyebut namanya dan sepertinya mereka adalah adik Angga yang tadi namanya sempat disebutkan ayah mertuaku.

"Alex, jaga sikapmu" Axel menimpali ucapan Alex yang menurutnya kurang sopan. "Apa Kak Rena ada acara hari ini?" Aku bingung, yang aku tahu aku punya jadwal menjadi sekertaris seseorang sebagai ganti dilepaskannya liesensi pilot ku, aku harus berada di sana tepat pukul 10 aku sudah harus bedarada di sana, sedangkan ini baru jam 6. "Sepertinya ini hari pertama ku kerja, maaf" Mata mereka menatap kecewa dan kaget sekaligus, mungkin mereka heran mengapa aku bekerja sedangkan aku sudah di lepas dari tugas. "Dimana?" Axel menatapku heran, ia benar-benar berbanding terbalik dengan sifat kakaknya. "Entah aku hanya menunggu jemputan" Keduanya mengangguk dan pamit pergi untuk bekerja. Alex dan Axel menjadi satu kesatuan yang mungkin tidak mungkin dipisahkan.

Handphone ku berdering, aku bingung kemana semua orang seolah mereka hilang tertelan bumi setelah drama tadi. "Nomor tidak dikenal" aku bergumam, siapa ini dan tidak mungkin bisa handphoneku menerima telefon dari nomor tidak dikenal. Aku menunggu hingga deringan ketiga kemudian tulisan nomor tidak dikenal berubah menjadi "Angga Dwipangga" darimana ia tahu nomor poselku? Tidak perlu ia bertanya ia bisa mendapatkannya dalam sekejap mungkin. Aku menerima telefon itu sebelum aku bersuara sang empu sudah membrutal dengan ucapannya "Maaf mengganggu nyonya, saya Radyana sekertaris Tuan Angga, tuan memerintahkan saya agar nyonya memberesakan barang-barang, karena nyonya akan pindah kerumah Tuan, dan Tuan memerintahkan saya agar nyonya tidak usah bekerja, karena menurut Tuan nyonya tidak kompeten menjadi seorang sekertaris. Anak buah saya akan menjemput nyonya jam 10 saya harap nyonya sudah siap" Telefon dimatikan begitu saja, apa maksudnya tidak kompeten dan apa maksudnya pindah rumah? Apa ini bukan rumahnya? Jika ini rumah kedua orangtuanya mengapa ia membawaku kesini mengapa tidak menyuruhku langsung kerumahnya? Apa rencana nya kali ini?

~~~

Jangan harap kau masih bisa tenang ketika sudah memasuki lingkup keluargaku 

~~~ Angga Dwipannga ~~~

Cold Jerk Husband [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang