Berkontradiksi

4.9K 722 74
                                    

***

Meeting kali ini terasa berbeda karena kami menggunakan mobil yang sama ke DCD Company. Perjalanan yang cukup macet membuatku menarik napas pelan dalam setiap kesempatan yang ada. Alunan radio fm tidak membantu sama sekali. Aku tidak bisa menikmati lagunya atau menyanyikan lagunya. Intinya, aku benar-benar tidak nyaman sama sekali di dekat Ricky.

Ini kacau! Sangat!

"Maag kamu udah membaik?" Ricky tiba-tiba bersuara. Aku gemetar. Pertanda buruk. Aku memalingkan mukaku ke luar jendela sambil menghembuskan napas pelan.

"Hanna!" Ricky terdengar menggeram sambil menyebutkan namaku. Aku harus menatapnya, dengan sangat terpaksa, karena kehadiran pak Ayi di antara kami.

"Sudah." jawabku singkat dan terkesan dipaksakan

"Yakin?" Ricky mengunci tatapan di antara kami. Napasku tercekat. Aku merasakan amarah memuncak ke ubun-ubun kepalaku. Aku tidak yakin dengan sikap Ricky padaku tetapi aku tidak cukup tolol untuk menyimpulkan sikap Ricky padaku. Dia baru saja mengutarakan kepeduliannya padaku ... tetapi aku harus menerimanya sebagai kepedulian sebagai sesama staff ONX Company.

Aku mengangguk kemudian bergegas memalingkan wajahku lagi. Sepanjang perjalanan perasaanku dag dig dug. Aku tidak bisa memahami perasaanku yang sering sekali gagal diajak kerja sama. Seharusnya aku memahami batas keras di antara kami. Ricky adalah managerku dan posisiku tidak akan pernah melebihi staff training di mata Ricky. Selain itu aku juga berpikir bahwa kami tidak akan mungkin kembali seperti dulu –ralat- maksudku adalah aku tidak sudi bahkan jika kami bersama kembali. Memikirkannya membuat bulu kudukku berdiri.

Kami tiba di DCD Company setengah jam kemudian. Ricky (selalu seperti biasanya) berjalan mendahuluiku. Aku bahkan harus berlari mengimbangkan langkah kami saat Ricky meminta laporan di tanganku (yang dikerjakan oleh Hiruka semalam). Dasar Ricky brengsek, pikirku kesal

"Hanna. Gimana kalau kamu pindah ke sana?" Ricky menunjuk kursi di sudut kiri sambil tersenyum pada seorang wanita paruh baya yang berdiri tepat di belakang kursi yang kududuki. Aku tidak punya pilihan lain selain mengangguk dan mempersilahkan wanita paruh baya tadi duduk di tempatku kemudian menempelkan bokongku di kursi yang berada di sudut kiri.

Aku mendapati diriku terus menerus dipandang oleh seorang laki-laki asing yang berada tidak jauh dariku saat aku menyempatkan diri menulis beberapa poin penting rapat kali ini. Sesekali laki-laki itu tersenyum saat kedua pasang mata kami beradu. Dia bahkan tidak segan-segan untuk melambaikan tangannya padaku. Tunggu. Aku bahkan tidak mengenalnya! Oh! Bulu kudukku berdiri. Is he a psycho?

Aku memukul ringan pipiku sambil memeluk tubuhku sendiri. Ih, menakutkan!

Aku bergegas bangkit saat melihat Ricky bangkit berdiri. Entah mengapa sebagian diriku berpikir bahwa aku akan lebih aman jika berada di dekat Ricky untuk saat ini. Psycho itu bisa jadi merugikanku jika aku tidak berada di sisi Ricky!

"Hanna!" suara itu berasal dari belakangku, bukan dari Ricky yang berada sejauh sepuluh meter di depanku. Kedua mataku membulat mendapati psycho itulah yang memanggilku. Tunggu. Tunggu. Bagaimana dia mengetahui namaku?

"Kamu ngga kenal aku?" tanya laki-laki itu membinggungkanku

Aku menyergit sambil melangkah mundur, sedikit takut. Psycho itu tersenyum tipis. Mungkin dia merasakan ketakutanku padanya.

Blooming MemoriesTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang