Perpisahan yang Terencanakan

6.1K 835 96
                                    

****

"Mari kita berkencan."

Jantungku bak berhenti berdegup pada saat itu juga. Aku merasakan sengatan listrik menyetrum sekujur tubuhku. Aku menjadi kaku dan sulit untuk berbicara. Ber .... Berken....can? Tunggu. BERKENCAN? WHAT THE HELL HE IS TALKING ABOUT NOW? Aku mencoba mengeja sembilan huruf itu di dalam otakku tetapi aku tetap tidak dapat memahami kata itu sama sekali.

Aku menggelengkan kepalaku.

"Pak Ky udah sinting ya? Berkencan??" aku memutar kedua mataku sambil memijit pelipis kepalaku yang tiba-tiba berdenyut.

"Saya tidak pernah bermimpi menjadi orang ketiga dalam hubungan orang. Kalau anda berminat, cari saja wanita lain." Aku tertawa tidak percaya sambil melangkah pergi tetapi Ricky menahan pergelangan tanganku. Aku ingin menarik tanganku tetapi gengamannya kali ini terasa begitu kuat bahkan terkesan meremasnya. Bulu kudukku berdiri.

"Kamu harus bertanggung jawab,Hanna."

"Bertanggung-jawab?"

Ricky menganggukkan kepalanya sementara aku harus memutar otakku untuk berpikir keras tetapi aku tetap tidak menemukan jawabannya. Mengapa aku harus bertanggung-jawab dan mengapa harus aku? Aku, maksudku, kami, bahkan tidak pernah menjalin komunikasi selama ini, selain di luar pekerjaan. Aku benar-benar menjaga jarak dari Ricky!

"Mari kita lupakan tentang Yaya dan berkencanlah dengan saya." Ricky mengatakannya dengan raut wajah datar alias flat. Tetapi dari sorot matanya aku menemukan diriku seolah berada di dimensi waktu yang berbeda. Aku merasa sedang berdiri di hadapan laki-laki yang mengajakku untuk bercinta dengannya seperti beberapa tahun lalu dan itu benar-benar berhasil merusak perasaanku.

Jantungku berdenyut sakit, memikirkan bahwa aku pernah memiliki masa lalu yang begitu buruk dengan pria yang sedang berdiri tepat di hadapanku. Tak ayal kami malah bertemu lagi di saat seharusnya aku melupakannya. Aku menarik napas kuat, sambil mencoba menjaga raut wajahku.

"Pak Ky, hari ini adalah hari ulang tahun anda tetapi anda meracau seperti ini. Sepertinya saya harus menelfon Hiruka dan..."

"Hanna. Saya tidak sedang meracau. Saya sadar betul apa yang saya katakan padamu sekarang."

"Kalau begitu, anda sinting!"

Aku mencoba menarik tanganku lagi walau itu terlihat cukup sia-sia. Tatapanku menajam. Aku bersiap untuk berteriak jika saja Ricky melakukan hal-hal senonoh padaku. Setidaknya pegawai di lantai empat atau enam mungkin mendengar jeritanku tetapi tawa Ricky menghentikanku. Meski tawa itu bukan yang terbaik dari yang bisa Ricky berikan tetapi tetap saja mampu membuat jantungku meluap-luap. Aku terkesima tetapi langsung terayun jatuh dalam luka detik berikutnya. Kenapa aku harus mengaggumi senyum itu? Tolol!

"Hanna, coba kamu pikirkan apa yang sudah kamu lakukan kepada saya selama ini." Ricky berkata dengan senyum yang tidak mengenai mata alias senyum paksaan. Selain itu, aku menemukan sorot kebencian di mata Ricky, yang tentu ia tujukan padaku.

"Tidak ada sama sekali." aku membalas acuh

"Tidak ada?"

Aku mengangguk tegas.

"Sudah mau menikah tapi belum bisa move on? Kasihani tunangan anda,Pak Ky. Dia mencintai bukan untuk dikhianati." tegurku sinis

Ricky tertawa. Kemudian mengunci tatapan di antara kami. Rahangnya mengeras. Dia melangkah satu langkah mendekat.

Blooming MemoriesTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang