26. Dilema

26.7K 2K 96
                                    


Suasana tambahan kali ini tampak lebih serius dari biasanya. Lebih serius dari pelajaran biasa malah. Biasanya para siswa XII IPA1 ini masih memakan makanan ringan bahkan nasi hingga mie ayam saat gurunya sedang mengajar saat tambahan. Namun untuk pertama kalinya, hari ini mereka tampil lebih rapi dari biasanya. Walau masih ada siswa yang sesekali mencuri-curi untuk makan makanan kecil di saat gurunya sedang mengajar. Rendra dan kawan-kawannya yang mempeloporinya. Mungkin ini maksud dari kata tobat yang pernah ia katakan.

Guru bahasa Indonesia yang sedang mengajar pun tersenyum simpul menatap para siswa di kelasnya yang hening itu. Tidak seramai biasanya. Walau sebenarnya itu hanya semu belaka.

"Ndro, tobatnya nggak gini-gini banget kali," bisik Septa yang duduk di belakang Rendra.

Rendra terkekeh. "Sekali-sekali nyenengin Pak Nurwan lah."

"Nyenengin Pak Nurwan tapi menyiksa teman ini namanya, Ren," celetuk Bagus yang ada di sebelah kiri Septa.

"Harusnya udah ada mie ayam di mata gua sekarang," sahut Arya ngelantur.

"Husst! Ikutin aja!" ucap Rendra agar suara-suara itu tidak menghasutnya lagi.

"Akhirnya lo tobat juga, Ren," sahut Shena yang duduk tepat di samping Rendra seraya tersenyum kecil.

"Biasanya Cuma bertahan tiga hari doang begini," canda Rendra.

Shena mencubit lengan Rendra perlahan. "Jangan gitu, nanti nggak diterima kuliah gara-gara nilai sikap baru tau rasa lo!"

"Nanti gua bikin universitas sendiri," sahut Rendra. Membuat Shena mendengus sebal.

"Nggak boleh gitu, lo itu harus mikirin masa depan lo," peringat Shena.

"Perhatian banget sih lo? Nyokap gua aja nggak mikirin sampai segitunya," ucap Rendra seraya mengerjakan soal pilihan ganda yang tadi dibagikan.

"Sebagai pacar yang baik gua harus perhatian sama lo." Shena tersenyum.

Rendra terdiam. Waktu seakan berhenti saat itu juga. Pensil yang sedang ia gunakan untuk mengerjakan soal mengambang di udara. Rendra lupa satu hal tentang Shena. Pacar, statusnya kini masih pacar dari Teresa Shenina dan Rendra tidak bisa lagi terus seperti ini. Membohongi perasaannya dan juga Shena.

"Shen, keluar sama gua yuk? Sebentar aja, ada yang mau gua omongin," ajak Rendra.

"Ngomong apa?"

"Udah ikut aja."

Shena dan Rendra kemudian keluar dari kelas dan pergi menuju halaman belakang sekolah. Tempat paling bersejarah dalam hidup mereka berdua. Tempat beberapa siswa pindah sekolah, tempat eksekusi, tempat Shena meluapkan segalanya kepada Sandra, tempat Rendra dan Sandra putus.

"Lo mau ngomong apa, Ren?" tanya Shena yang penasaran itu.

"Shen, gua boleh jujur nggak sama lo?" ucap Rendra hati-hati.

"Jujur apa?"

"Gua sayang sama lo," ucap Rendra yang segera membuat Shena tersipu malu dan tersenyum lebar. "tapi Cuma sebagai sahabat, Shen."

Senyum yang mengembang di wajah Shena luntur seketika. Matanya menatap Rendra penuh tanda tanya. Jadi, dirinya hanya sahabat di mata Rendra?

"Sahabat?"

Rendra mengangguk. "Sorry, tapi emang itu yang gua rasain. Perasaan gua ke lo sejak awal enggak pernah berubah, Shen. Sebatas sahabat dan itu masih bertahan sampai sekarang."

"Sahabat? Terus maksud lo selama ini itu apa?" tanya Shena dengan matanya yang mulai memanas.

"Itu... itu karena gua udah terlanjur janji sama lo dan di sisi lain gua enggak mau lo drop, apalagi bokap lo waktu itu dirawat di rumah sakit," jelas Rendra. "Gua takut lo kenapa-napa."

The Bad Boy and His LoverTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang