Tak ada yang istimewa dari makan siang kali ini. Sup ayam, nasi putih dan apel itu masih berada di atas nakas, tak tersentuh. Penghuni ruang perawatan itu sedang pergi entah kemana dengan infus yang masih menancap di punggung tangannya. Dokter bilang, Sandra sudah boleh pulang hari ini setelah menyelesaikan urusan administrasi tapi sampai saat ini, ayahnya masih belum pulang dari kantor. Jadi dia belum bisa mengurus semuanya. Franda tak ada di rumah, sementara ibunya juga masih mengurus urusan yang lain.
Sandra berjalan di sepanjang koridor rumah sakit sambil mendorong tiang infusnya. Dia berjalan mulai dari lantai atas hingga lantai dasar. Dari bangsal orang tua, anak-anak hingga bangsal ibu dan anak. Ya, bangsal ibu dan anak adalah tempat favorite Sandra. Melihat bayi-bayi mungil dari balik kaca membuat dirinya merasa ingin membawa mereka pulang. Kali ini, dia berada di area taman. Tak banyak orang selain pasien, perawat dan orang yang menjaga pasien di sana. Ini bukan jam besuk jadi tidak terlalu ramai.
Semilir angin di bawah pohon yang rindang itu membuat udara menjadi lebih sejuk. Sandra menghela napasnya. Membayangkan tentang apa yang terjadi di sekolah sekarang. Apa Regha dan Naya bisa bersama? Bagaimana dengan Rendra dan Shena, apa mereka masih tertawa bahagia di atasnya. Tapi... beberapa hari yang lalu Rendra baru saja berkata dia menyesali perbuatannya itu. Sandra memejamkan matanya lalu mendengus sebal. Ah, Rendra lagi. Setiap kali Sandra sedang tidak melakukan apa-apa, hanya berdiam diri saja, Rendra selalu terselip di kepalanya.
"Kenapa sih lo gitu, Ren?" gumam Sandra.
Terkadang, Sandra tidak mengerti cara pikir Rendra. Disaat dia merasa mulai memahami laki-laki itu, dia justru membuatnya jatuh. Sandra tidak mengerti. Kenapa dia membuatnya terbang, lalu menjatuhkan dirinya ke dasar jurang, dan disaat dirinya mulai berusaha keluar dari jurang itu, laki-laki itu kembali datang dan mengulurkan tangannya sebagai pertolongan.
Sandra heran, kenapa Rendra mempermainkannya sedemikian rupa.
Gadis itu juga heran, walau sudah diremukan sedemikian rupa, perasaannya kepada Rendra tidak berubah. Biarpun sebenarnya dadanya terasa sesak setiap kali melihat Rendra tetapi Sandra tidak bisa membencinya.
"Udahlah, San. Lupain aja," ucap Sandra pada dirinya sendiri.
Dia kemudian bangkit dan membawa tiang infus itu kembali berjalan bersamanya. Sandra melangkahkan kakinya menuju lobi. Bagi pasien, mungkin rumah sakit bisa dianggap seperti rumah sendiri walau tak semuanya bisa mereka masuki. Sandra menundukkan kepalanya. Menatap sandal jepit biru dan celana training hitamnya yang kepanjangan, mereka terus melangkah bersama kakinya hingga tanpa sadar dia menabrak seseorang.
"Aduh," ucap Sandra spontan seraya mengusap kepalanya yang terbentur seseorang itu. "Maaf nggak lihat."
"Hai, San."
Bukannya marah atau meminta maaf balik dan semacamnya, orang yang tadi ia tabrak justru menyapanya. Sandra segera menegakkan kepalanya. Menatap siapa yang sekarang berada tepat di hadapannya. Laki-laki itu tersenyum cukup lebar walau terkesan dipaksakan. Sandra mengeluh dalam hati. Kenapa? Kenapa dia selalu muncul setiap kali baru saja dipikirkan?
"Kenapa lo ke sini?" tanya Sandra dingin. Kali ini dia bisa mengendalikan emosinya. Tidak seemosional saat Rendra pertama kali datang menjenguknya.
"Jenguk lo," jawab Rendra canggung.
"Oh," sahut Sandra singkat.
Tak ada kata yang terucap setelah itu. Mereka berdua sama-sama diam padahal saling berhadapan. Biasanya Rendra selalu menganggunya, menjahilinya dan kadang bersikap manis kepadanya. Namun kali ini, dia hanya diam. Tangannya mengusap tengkuk sementara tangannya yang lain menggenggam sebungkus plastik.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Bad Boy and His Lover
Tienerfictie[COMPLETED] [REVISI TYPO] Rendra pikir, sepertinya akan menyenangkan jika ia membuat Sandra terbang lalu menjatuhkannya ke dasar jurang. Apa Rendra berhasil 'bersenang-senang'? Copyright © 2017 by sarvio #58 TF [270817]