08: Ditantang Balik

2.5K 515 60
                                    

"Lihat diriku, penuh dengan gundah

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

"Lihat diriku, penuh dengan gundah. Ada yang resah, dan ada yang bimbang. Setiap hari, kusimpan semua. Tetapi kini, ayahku berulah!"

 Tetapi kini, ayahku berulah!"

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

"WA'ALAIKUMSALAM, Non."

Zena yang semula was-was kalau Ayah-Ibunya sudah di rumah mendadak tenang begitu mendengar Bi Inah yang menjawab salamnya. Padahal seharusnya ia tak perlu sampai gundah begitu, karena bukannya sudah biasa ya, Ayah-Ibunya lembur? Ia pun segera menuju kulkas untuk memuaskan dahaganya setelah banyak berjalan.

"Dari mana saja kamu, nduk? Sudah maghrib kok baru pulang."

Langsung saja Zena memuncratkan air dingin yang baru ia teguk.

"I-ibu? Di rumah?" ujarnya gelagapan sambil menyeka mulut. Matanya mengekori Ibunya yang sudah duduk di meja makan. Baiklah, sepertinya Zena harus menyiapkan diri untuk sesi ceramah dari Ibunda.

"Ayahmu iki telepon ibu. Dia katanya mampir sekolahan kamu, tapi kamunya ndak ada."

Eh? Nggak ada?

Kening Zena mengernyit.

Bagaimana bisa tidak ada? Berarti tadi Ayahnya betul-betul tidak melihat dirinya yang sibuk melarikan diri. Yang berarti, Ayahnya begitu terpaku dengan ponselnya sampai-sampai tidak melihat. Ah ... kenapa memikirkannya jadi membuat Zena miris sendiri.

Mulailah jurus cengengesan Zena keluar. "Itu Bu... ada kerja kelompok. Hehehe."

Bohong. Tapi biarlah, toh kebohongan ini demi kebaikan orang banyak. Biarlah ia berdusta pada Ibunya kali ini.

Mata ibunya menyipit karena ragu, yang sungguh, tak Zena pedulikan. Ia mulai memasang tampang acuhnya. Yang ada di pikirannya hanya cara-cara agar ia bisa cepat-cepat kabur dari ceramah tak penting ini supaya bisa tidur. Ia tak peduli kalau Ibunya mau percaya atau tidak. Ia malas mendengar apa pun yang akan keluar dari mulut sosok Ibu itu. Padahal, Ibunya kalau bicara lemah lembut layaknya wanita khas solo. Tapi tetap saja itu semua omong kosong di mata Zena.

Bagaimanapun juga, melihat wajah Ibunya selalu mengingatkannya pada malam itu. Sampai sekarang, kejadian malam itu masih tercetak jelas di otaknya. Ia makin percaya kalau kita memang tidak bisa menilai orang hanya dari perawakannya saja. Apalagi ketika ia harus menyaksikan Ibunya bergandeng tangan dengan lelaki lain pada malam kelulusan SMP-nya. Saat itu Ayah Zena tengah dinas di luar kota.

Selengean ✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang