Bathophobia - 7

1.7K 133 1
                                    

"Adam kenapa nggak dihukum sama kamu atau kamu yang ngerangkum sejarah atau dia yang sama Adam?"

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

"Adam kenapa nggak dihukum sama kamu atau kamu yang ngerangkum sejarah atau dia yang sama Adam?"

"Adam kan nggak ada kelas Mr. Alfi, ya mana mau lha tuh guru ngehukum simpang siur begitu." Tangan kananku membenarkan posisi bantal di pangkuanku, sedang tangan kiriku memegang ponsel.

"Iya juga sih ya," timpal Tasya dari seberang sana. "Tapi, kebetulan banget gitu."

Aku mengernyit. "Apanya?"

"Kamu, Kelana, dan Adam."

"Hadeh. Kebanyakan nonton sinetron kamu ah." Aku terkekeh. "Dari pada ke kebetulan ini lebih ke kesialan."

"Kelana maksudmu?"

Aku mengangguk walau Tasya tidak melihatnya. "Iya. Sialan banget kan dia. Niatku kan ngelerai, tapi malah kena hukum juga."

Tasya tertawa di ujung sana. "Mangkannya jangan sok jagoan."

"Tai."

"Trus rencana mau bawain apa pas kelas nanti?"

"Nggak tau. Kelana kan lagi turnamen tuh. Belum sempet latian juga sih."

"Dia belum pulang?"

"Kalo dia pulang aku nggak bakal masih duduk manis di kasur, Sya."

"Jangan ngentengin lho." Tasya mengingatkan.

"Nggak kok. Lagian waktunya kan sebulan. Cukup lah."

Ceklek.

Aku menegakkan badan mendengar suara pintu dibuka. Mengabaikan suara Tasya yang entah bicara apa, sedang fokusku mendadak beralih ke seseorang yang membuka pintu kamar tiba-tiba. Kelana muncul dari arah pintu. Laki-laki berkaos biru muda itu memandangku datar, namun matanya menyorot tidak suka. Umur panjang banget. Dia memindai sekeliling, lalu melihat ke langit-langit kamar, kemudian mendengkus. Kelana meletakkan ransel besar di lantai bersama jaket biru tua yang dipegangnya.

Aku diam. Kugenggam ponselku erat-erat sembari mengamati setiap gerakannya. Kelana membuka lemari pakaiannya dan entah melakukan apa di sana.

"Halo?"

"Jingga? Halo?"

Reflek sambungan telepon kuputus. Memilih menekan opsi akhiri panggilan dan segera mengetikkan permintaan maaf ke Tasya agar dia memaklumi.

Tanpa sadar aku menahan napasku. Rasanya seperti malaikat maut ada di dekatmu. Ugh. Rasa ini membuatku mual.

"Jingga itu langit pengantar malam." Kelana bersuara. "tapi, kamu bahkan takut kegelapan," sindirnya. "Ironis kan?"

Aku tergugu, sedang keheningan menyahuti.

Tanpa tahu malu, laki-laki di balik pintu lemari itu membuka kaosnya. Pantulan punggung dari cermin menampakkan apa yang sedang Kelana lakukan. Aku semakin menahan napasku. Oksigen di kamar 505 serasa menipis dan menimbulkan hawa panas. Aku menunduk, memilih menatap layar ponselku yang menghitam ketimbang punggung atletis milik Kelana yang membuat jantungku jedag-jedug. Kelana benar-benar membuatku mual. Ugh.

BathophobiaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang