Bathophobia - 16

1.6K 150 3
                                    

"Ayo sini

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

"Ayo sini."

Aku berdiri kaku di dekat pohon kelapa, hanya melihat Kelana dengan gelisah.

"Sini," Berkali-kali Kelana mengajakku mendekati pantai, tapi aku enggan.

Aku menggeleng terpatah dan mengamati dia dari jauh.

Dari awal datang ke pantai aku sama sekali tidak mendekati bibir pantai. Hanya duduk dan berdiri dekat pohon kelapa bersama alat-alat lukisku. Kelana bilang, pergi ke pantai bisa menjadi terapi fobiaku dan juga mendapatkan inspirasi untuk lukisanku. Sekali menyelam, dua pulau terlampaui katanya.

Mengabaikan Kelana yang tak henti-henti mengajakku bermain air, aku menempatkan alat lukisku, mengepaskan posisi agar nyaman. Palet, kuas dan cat air ku keluarkan. Mulai mengisinya dengan beberapa warna yang kubutuhkan. Lalu, menatap kanvas yang masih kosong dan melihat pemandangan di balik kanvas.

Ada Kelana di sana dengan background pantai bertemankan langit pagi yang biru. Kelana Langit Biru. Aku tersenyum tanpa sadar. Kelana seperti jiwa keindahan langit pagi. Dia sangat cocok berada di sana. Kini, aku mengerti mengapa orang tua Kelana memberikan ia nama seperti itu. Karena, Kelana memang sebiru langit. Memukau dan berseri. Sejuk dan enak dipandang.

Terlebih lagi, Kelana memang menyukai warna biru. Seisi lemarinya--yang aku tahu--, hanya ada warna biru, kecuali seragam sekolah. Kalau nggak biru ya hitam atau putih. Benda-benda miliknya hanya berpusar pada warna-warna itu.

Dari ekor mataku, aku melihat Kelana berjalan menghampiri. "Yakin nggak mau ikutan?"

"Nggak," jawabku diikuti kepala yang geleng-geleng.

Kelana menatapku penuh arti, seperti merencanakan sesuatu.

"Yaudah kalau gitu." Laki-laki itu berbalik. Aku menatap punggung polosnya sampai ia menyentuh air pantai kembali.

Gara-gara Kelana yang suka shirtless, aku sudah terbiasa menatapnya seperti itu. Meskipun kadang, suka berpikir yang tidak-tidak. Tahu kan maksudku?

Berbagai ekspresi Kelana sedang bermain air kutuangkan ke dalam kanvas. Mulai dari ia yang dihantam ombak, bergelut dengan arus laut, menggali lubang di pasir pantai, sampai hal sepele yang ia lakukan seperti hanya berdiri memandangi ombak. Aku mendapatkan banyak hal dari Kelana hanya dengan mengamati lelaki itu. Mungkin Kak Gema benar, Kelana bisa jadi muse-ku.

Ternyata bukan aku saja yang sedang mengamati Kelana. Beberapa orang yang mengunjungi Pantai Cacalan sedang melihatnya juga. Paras Kelana memang tidak bisa dibilang rendah. Ia termasuk kategori laki-laki berwajah tampan dan good looking. Wajah yang tidak akan membuat bosan walau dipandang selama dan sesering apapun.

Aku menyadarinya kok dari awal mengenal Kelana. Hanya saja laki-laki berwajah tampan di sekolah bukan Kelana saja. Menurutku rata-rata murid di Sebelas Desember punya paras yang enak dipandang. Mungkin karena di sana merupakan sekolah internasional. Apalagi biaya untuk masuk ke sekolah itu tidak sedikit. Jadi teoriku, murid yang bersekolah di sana murid yang bisa merawat dirinya.

BathophobiaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang