14 : Pengakuan, Permintaan Maaf, dan Berdamai.

147 45 3
                                    

Happy Reading ❤
Belum revisi T.T

-o0o-

Aroma khas rumah sakit perlahan menyeruak ke dalam indera penciuman gadis itu. Melisa, gadis itu tengah terbaring lemah diatas brankar rumah sakit. Kedua kelopak matanya terasa berat saat terbuka, tenggorokannya kering, dan kepalanya pening.

Mencoba secara perlahan membuka kelopak matanya. Setelahnya, bola matanya bergerilya mengelilingi seisi ruangan yang di dominasi warna putih. Mencoba bangun, Melisa menumpukan kedua telapak tangannya pada kasur brankar agar bisa duduk. Namun, belum sempat Melisa melakukan hal itu, pekikan seseorang mengalihkan fokusnya.

"Melisa bangun Mas!" Tere yang tengah duduk sambil bersandar pada leher sofa, berjengit kaget saat melihat pergerakan Melisa yang terbangun setelah kurang lebih lima jam tak sadarkan diri.

Akbar yang setengah terpejam bangkit dengan setengah melompat dari duduknya dan melangkah cepat ke arah Melisa. "Sayang... kamu jangan gerak-gerak dulu!" Pinta Akbar sambil menahan kedua bahu Melisa, bermaksud untuk membaringkannya lagi. Seolah menyetujui, Tere manggut-manggut di samping Akbar dengan wajah khawatir.

"Apasih? Saya mau minum." Begitu ucap Melisa Setelah itu Rere yang disamping Akbar langsung inisiatif mengambilkan air mineral di dispenser yang berada dalam ruangan.

"Ini." Tere menyerahkan air mineral yang berada di gelas kaca itu kepada Melisa. Kemudian kembali ia berdiri di samping Akbar.

Setelah mengambil, Melisa menenggak air itu, masih dalam posisi sedang minum air, Melisa melirik penampilan kedua orang yang saat ini sedang berdiri berjejer di samping brankarnya. Mata Tere bengkak, wajahnya pucat, rambutnya sedikit berantakan. Begitupun dengan Ayahnya, kemeja kantornya berantakan, dasinya melonggar, dan matanya nampak sayu. Melisa tak perlu bertanya mengapa ia bisa ada di ruangan serba putih yang ia yakini sebagai rumah sakit ini. Ia masih ingat jelas kejadian beberapa jam lalu. Fakta baru yang menumbuknya tanpa ampun. Mengingat itu, membuat hati Melisa seperti terkoyak. Selama ini dia dibohongi?

Setelah selesai minum, Ia meletakkan kembali gelas di atas nakas samping brankarnya.

Tere yang melihat gerak-gerik Melisa yang ingin kembali berbaring, mengambil beberapa langkah untuk membantu membaringkan Melisa kembali.

Namun baru saja Tere menyentuh dua pundak Melisa, secepat itu juga Melisa menepis tangan itu. Ditatapnya Tere dengan pandangan mata yang tersirat kemarahan yang mendalam.

"Jangan coba-coba sentuh gue," ujarnya tegas dengan suara lemah.

Tere menunduk, berusaha menekan nyeri pada dadanya yang merangsang kelenjar air mata untuk bekerja. Tapi tak apa! Ini memang pantas ia dapatkan dari semua kebohongan yang berusaha ia tutupi selama ini dari Melisa.

Akbar mengehela nafas panjang, ini saatnya. Ini saatnya puteri kecilnya harus mengetahui semuanya. Meski ia tak yakin jika tidak akan melukai Melisa lagi. Merangkul Tere, Akbar berjalan bersama Tere di rangkulannya ke arah sofa. Didudukkannya isterinya di sana. Setelahnya, ia bangun dan mengambil sebuah kursi dari di pojok ruangan. Ia membawa kursi itu di samping brankar Melisa, gadis kecilnya itu tengah berbaring sambil menatap langit-langit kamar dengan pandangan kosong.

"Sayang ..." ucap Akbar lembut sembari mengelus lembut surai Melisa sepundak.

Malas merespon, Melisa bergerak tak nyaman dari tidurnya. Sungguh, ia benci dalam keadaan tak berdaya seperti ini. Keadaan yang memaksanya untuk tetap tenang walaupun keingin untuk memberontak itu kian membesar.

Bad Girl FeelingsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang