1

41 2 0
                                    


Bisingnya suara vacuum cleaner dari bawah selalu membangunkan Natalia dari tidurnya. Dia meraih bantal yang terjatuh dari kasur. Mendekapkan ke kedua telinganya. Bunda masuk ke kamar tanpa mengetuk. Melipat gorden dan membuka jendela kamar. Membiarkan cahaya fajar membasahi Natalia yang masih terbaring malas di kasur. Menarik selimut yang menutupi tubuh putrinya. Sengaja membuat sisa-sisa dinginnya angin malam mengganggu Natalia yang masih mencoba untuk melanjutkan tidurnya. 

Dengan terpaksa Natalia harus bangun. Tidak kuat menahan dinginnya angin dari luar jendela berlalu lalang diantara kakinya. Ditambah dengan angin AC yang sengaja tidak bunda matikan.    "Eh, sudah bangun rupanya." ucap bunda, sembari melipat selimut yang tadi dia ambil. Beranjak untuk keluar.

Natalia hanya duduk diam. Menahan rasa ngantuk. Mencoba mencari telepon genggam yang sengaja bunda pindahkan dari kasur ke meja belajar. Bertujuan agar putrinya benar-benar bangun. Dia bergumam kecil. Matanya yang masih menyipit. Rambut yang berantakan tidak karuan. Beberapa kali teleponnya bergetar. Mungkin ada pesan yang masuk. Tapi dia sama sekali tidak memperdulikan itu.

Dia beranjak turun menuju ruang makan. Mba Mar masih sibuk merapihkan vacuum cleaner yang sudah selesai dipakai. "Punten, teh..." dengan logat sunda yang khas. Dia hanya membalas dengan senyum tipis dengan mimik yang masih mengantuk. Bunda tengah menyiapkan sarapan. Natalia membuat susu putih hangat, yang sudah menjadi rutinitasnya di pagi hari sejak lama. 

"Pagi cantik..." suara bunda yang terdengar santai. Padahal dia sibuk memotong sayuran untuk dimasak nanti. "Mau bunda masakin telur?"

"Engga , bun, aku minum susu saja." Dia mengambil sendok kecil dan mengaduk susu yang dia seduh di gelas. "Bunda mau aku bikinin teh?"

"Sudah kok, sayang." "Mending kamu seduh teh buat ayah. Tadi ayah minta. Tapi bunda lagi masak. Repot." Bunda menatap putrinya itu dengan senyum hangat di wajahnya.

Natalia mengambil teh dari laci. Menyeduh di dalam cangkir putih favorit ayah. "Makasih ya, cantik..." Ucap bunda melihat anaknya itu. "Ayah ada di teras depan." Lanjutnya.

Dia berhati-hati membawa segelas susu hangat dan secangkir teh dengan kedua tangannya. Membuat asap dari hawa panasnya air berterbangan bebas. Ayah sedang membaca koran di teras. Kasus pemerasan uang yang menjadi berita utama koran tersebut. Berita tentang korupsi oleh anggota dewan, pemalsuan uang, penyuapan hakim, bla-bla-bla. "Politik lagi, yah?" Dia menaruh gelas dan cangkir diatas meja kecil di teras.

"Hai cantik..." "Kamu bawa apa itu?" Serentak mata ayah tertuju dengan cangkir yang dibawa anaknya.

"Teh, yah." Dia tersenyum dengan rambut yang masih berantakan. Dia duduk di kursi gantung yang muat 2 orang. 

Ayah melipat koran dan meletakannya di meja. Mengambil secangkir teh hangat itu. Menyeruputnya sedikit. "Makasih ya, sayang." Dia kembali menaruh cangkir itu di meja sambil tersenyum ke putrinya. "Teman-teman kamu sudah dapat kuliah?"

Natalia menggelengkan kepalanya. Dia mengambil susu hangat yang dibuatnya tadi dan menyeruputnya sedikit. "Aku tidak tahu, yah. Yang aku tahu hanya Afta." "Dia balik lagi ke Inggris."

"Sudah lama ayah tidak bertemu dia lagi."

"Dia sekarang sudah kembali ke Inggris, yah." Natalia menaruh gelas di meja. "Mungkin sibuk menyiapkan kuliahnya." "Dia pernah bilang, mau mengurus berkas dan semacamnya."

Ayah mengangguk diam. Dia kembali membaca koran. Pagi itu sama seperti biasanya. Beberapa orang sibuk tawar menawar dengan tukang sayur yang berkeliling di komplek. Terdengar suara burung tetangga yang saling saut-menyaut. Dedaunan yang bertabrakan dengan angin di pagi hari. Rona fajar yang semakin lama makin cerah di ufuk timur. 

Let's Write The Next Chapter Of Our LivesTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang