4

7 1 0
                                    

Butiran air menyelimuti angkasa. Dia berada ribuan kaki diatas permukaan laut. Hanya ditemani dengan alunan musik lawas, yang menjadi favoritnya. Ayah memilih untuk tidur. Sambil beristirahat, mengumpulkan tenaga untuk melanjutkan kegiatan di esok hari. Sinar bulan menghiasi sunyi. Bintang-bintang melukis gelapnya malam. Heningnya suasana di kabin pesawat.

Dia mengambil buku catatan dan pulpen dari kantong. Membaca sajak dan puisi yang ditulisnya di setiap halaman. Sesekali mengingat-ingat kapan dan mengapa ia menulis itu.

"Why are you not sleep yet, son?" ayah terbangun tiba-tiba. Bingung melihat putranya yang memilih untuk membaca dibanding istirahat. Padahal sudah hampir tengah malam. Afta hanya diam, tersenyum melihat ayah. "Apa yang sedang kamu baca itu?" Ayah mengusap mata dan mengambil kacamata dari kantong kemejanya.

"Poetry i wrote." Dia sedikit menunjukan hasil tulisannya itu. Ayah tersenyum mengetahui hal itu.

"Ayah tidak tahu kamu suka menulis puisi." Jawabnya bangga. "May i have a look?"

Afta sedikit menyodorkan bukunya. Diraihnya buku kecil dari tangan Afta. Mencoba untuk memahami apa arti dari tulisan yang ditulis anaknya. Sedikit air mata mulai membasahi matanya. Dia mengerutkan matanya, sambil menutup mulutnya, dan tidak bisa berkata apa-apa. Masih terpaku kaku dengan puisi yang dibacanya ini.

Afta sedikit bingung, dan juga penasaran. Mengapa ayah bisa sampai seemosional ini? Dia sedikit melirik apa yang sedang dibaca. Dan dia pun ikut terkaku. Ayah meraih sapu tangan dan mulai mengusap air mata yang mulai membasahi pipi. Ayah menatap Afta dengan mata yang masih terlihat merah. "I'm so proud of you." Ayah mengusap kepala Afta.

Afta sedikit tersenyum dengan hati penuh rasa tidak enak. Ayah mulai membaca sajak di halaman berikutnya. Masih denga senyum hangat yang terpajang di wajahnya.

"How does she looks like?" Ayah serentak terdiam mendengar pertanyaan Afta. Dia menutup buku tersebut dan memberinya kembali ke Afta. Tetap tersenyum melihat anaknya. Dia melepas kacamata dan menaruhnya kembali ke dalam kantong.

"She was..." Ayah mengambil napas panjang. mencoba menenangkan diri. Dia kembali menatap putranya. "Glorious."


***


Mereka telah sampai di Jakarta. Sebuah perjalanan panjang yang sangat melelahkan. Ayah mengambil tas kecil di kabin pesawat. Afta membereskan barang-barang yang dia bawa. Satu per satu orang yang ada di dalam sana mencoba menghubungi keluarga atau teman-temannya, memberi kabar bahwa mereka telah sampai. Sinar matahari menyelimuti mereka melalui sela-sela jendela pesawat. Afta kemudian mengambil tasnya di kabin, memasukkan semua barang-barangnya.

Sembari mereka menyusuri koridor bandara, ayah meminta Afta untuk mengambil koper, karena ayah harus menelpon ke kantor. Afta menganggukan kepalanya. Dia kemudian mengambil troli, dan langsung menuju ke tempat pengambilan koper. Dia melihat ayah sedang sibuk dengan ponselnya. Satu per satu diambilnya koper disana. Tinggal 2 barang lagi yang belum datang.

"Sudah semua, Ta?" Ayah menghampiri Afta yang masih berdiri menunggu.

"Belum, yah." Pandangannya masih fokus terhadap koper-koper yang lewat didepannya. "Tinggal gitar aku yang belum datang."

Ayah mengangguk kecil. Dia mengeluarkan sebotol air minum dingin dan diberikan ke Afta.

"Disini panas juga ya, yah." celetuk Afta sambil mengusap keringat di mukanya.

"It's different here." ayah menjawab sambil tersenyum. Ayah mengambil ponselnya, dan menelpon seseorang untuk menjemputnya. Semua barang di bagasi telah datang. Mereka segera berjalan keluar bandara.

Let's Write The Next Chapter Of Our LivesTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang