19

2 1 0
                                    

Hari terakhir ujian nasional. Titik akhir seorang pelajar SMA dalam menempuh sekolah. Mereka berbondong-bondong berkumpul di lapangan. Bersama-sama melempar kartu ujian ke udara. Membiarkannya berterbangan tertiup angin. Sorak-sorak kebahagiaan memenuhi siang hari. Sebagian dari mereka mengeluarkan spidol dan pylox dengan berbagai warna dari tas mereka. Memang sudah bisa dikatakan hal ini adalah tradisi. Mencoret-coret seragam sekolah dengan tujuan yang tidak penting.

Afta hanya duduk di kap mobil. Melipat tangannya di dada. Terlihat sedikit kebingungan. Menundukan kepalanya. Melihat kosong ke bawah. Menjadi patung di saat semua teman-temannya bersorak ria. Bergantian dan menunggu untuk mendapat tanda tangan dari temannya yang lain.

"Hei!" Teriak Rendy tengah berlari kearahnya membawa spidol. "Aku tahu di Liverpool tidak ada tradisi seperti ini. Ayolah ikut denganku." Ucap Rendy sambil menarik tangan Afta.

"Aku sepertinya akan pulang." Jawab Afta menatapnya kosong.

"Hei, ada apa?" Rendy meletakkan tangannya di bahu Afta. "Ini pengalaman sekali seumur hidupmu." Lanjutnya.

"Aku tahu." Jawab Afta sambil menggoyangkan bahunya. Membuat tangan Rendy terlepas.

"Kamu kenapa?" Tanya Rendy yang bingung melihat Afta. "Kenapa kau terlihat begitu bingung?" Rendy penasaran apa yang sebenarnya sedang menimpa Afta.

"Bukan begitu, Ren." Afta kembali melihat Rendy. "Aku takut..." Afta terdiam sejenak. "Aku takut Natalia menganggap ucapanku hanyalah omong kosong."



***



Afta memarkirkan mobilnya di garasi. Mengunci pintu gerbang dan masuk kedalam. Ayah masih sibuk dengan tumpukan kertas di meja. Tangannya menopang kepalanya. Afta melepas sepatu dan menghampiri ayah. Dia melihat gelas kosong di meja dan membawanya ke dapur. Mencucinya dan meletakkan di rak.

"Kamu sudah mengantarnya pulang?" Tanya ayah sambil serius membaca kertas-kertas.

"Sudah." Jawab Afta sambil mengambil secangkir gelas. "Ayah mau kubuatkan minum hangat?"

"Boleh." Jawab ayah.

Afta menyeduh teh dan mengantarnya ke ayah. Dia duduk di kursi di depan ayah.

"Kamu cepat tidur. Sudah malam." Sahut ayah yang matanya masih tertuju ke kertas tersebut. "Kau juga harus belajar untuk ujian nasional." Lanjut ayah.

"Aku akan menemanimu." Sahut Afta. "Besok aku libur. aku bisa belajar besok pagi" Lanjutnya. "Kenapa ayah terlihat sibuk sekali? Tidak seperti biasanya." Afta bertanya sambil menikmati teh buatannya.

Ayah meletakkan kertas itu di meja. Membiarkan beberapa terjatuh. Dia minum teh buatan putranya dan menatap ke Afta serius.

"Ayah ingin bertanya serius kepadamu." Ayah menatap Afta. "Seberapa berartinya Natalia bagimu?"

Afta sempat bingung. Ayah belum pernah bertanya seperti itu. Dia menatap ayah dan mengambil napas dalam.

"Dia adalah perempuan pertama yang aku pertemukan denganmu." Afta menjawab dengan tenang. "Ayah pasti bisa paham betapa berartinya Natalia bagiku." "Kenapa ayah bertanya seperti itu?"

"Bagaimana dengan kuliah?" Ayah tiba-tiba mengalihkan pembicaraan. "Kamu ingin berkuliah dimana?"

"Mungkin di Jakarta." Jawab Afta sedikit ragu. "Aku tidak ingin kuliah jauh-jauh. Aku tidak ingin meninggalkan ayah, dan juga Natalia." Ayah malah terkaku mendengar ucapan Afta. "Kenapa ayah bertanya seperti itu? Ada apa?" Afta kembali memastikan.

Ayah tediam cukup lama. Afta hanya menunggu jawaban dari ayah.

"Begini, nak..." Ayah terdiam sebentar. Mengusap wajahnya dengan tangan dan kembali menatap Afta. "Ayah ditugaskan kembali ke Liverpool." Ayah bersandar ke kursi. "Ayah harus mengurus proyek disana."

Afta pun terdiam sejenak. Dia menundukkan kepalanya sedikit. Menatap kosong ke bawah. "Berapa lama?" Tanya Afta pelan.

"5 tahun." Balas ayah. "Cukup untuk menyelesaikan kuliahmu." "Ayah sebenarnya sudah lama ingin memberitahumu tentang ini. Tapi ayah pikir malam ini adalah waktu yang tepat."

"Aku tidak tahu harus berkata apa." Afta kembali menatap ayah. "Lalu bagaimana dengan kuliahku?" Tanya Afta.

"Ayah sudah memikirkan hal itu." Ayah melempar dua gumpal kertas ke depan Afta. "Ayah sudah memberikan nilai rapormu ke dua universitas. Dan kamu diterima oleh keduanya. Hanya saja satu di Jakarta, dan satu di Liverpool." Afta mengambil kertas-kertas itu dan membacanya satu per satu. "ayah sengaja memasukkanmu ke dua universitas agar kamu bisa memilih untuk melanjutkan kuliahmu. Ayah tahu betapa berartinya Natalia bagimu. Dan ayah tahu kamu pasti tidak ingin jauh-jauh dengannya. Itu mengapa ayah mendaftarkanmu ke salah satu universitas di Jakarta."

"Ayah tahu perpisahan itu sulit." Ayah menggenggam tangan Afta. "Tapi situasi memaksakanmu untuk menghadapinya. Kamu bisa kuliah di Jakarta jika kamu mau. Ayah sudah siap untuk berpisah denganmu saat kamu kuliah nanti." "Lagipula ayah tahu kamu sudah dewasa. Ayah sudah bisa mempercayaimu. Kamu bisa tinggal disini selama ayah bekerja di Liverpool. Ayah akan pulang saat libur."

"Bukan begitu, yah." Afta memotong ucapan ayah. "Bukannya aku tidak mau meninggalkanmu atau Natalia." Afta terdiam sejenak. "Hanya saja ada hal yang benar-benar harus aku pertimbangkan."

"Semua pilihan berada di tanganmu, nak." Sahut ayah. "Ayah sudah siap menerima apapun keputusanmu itu." Jawabnya.

"Aku tahu." Afta meletakkan kertas-kertas di meja. "Aku tidak akan meninggalkan kalian berdua." Afta menatap ayah. "Hanya saja salah satu dari kalian harus menungguku pulang."

Let's Write The Next Chapter Of Our LivesTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang