Dinginnya angin malam seperti menembus tembok pondok. Begitu menyengat di kulit walau tidak ada pendingin ruangan disana. Api di atas lilin yang tidak cukup menghangatkan ruang. Justru hanya mengeluarkan bau wangi yang cukup menyegarkan. Pesanan terakhir mereka akhirnya datang. Makanan pencuci mulut sebagai penutup malam. Mereka berbagi makanan.
Tawa mereka lepas. Terdengar hingga ke luar pondok. Canda yang tiada henti.
"Aku masih tidak percaya." Caca menopang dagunya dengan tangan, tersenyum melihat Afta dan Natalia yang tengah menikmati hidangan pencuci mulut. "Kalian berdua bisa begitu dekat."
Afta menanggapinya dengan tenang. "Sudahlah. Kalian hanya membicarakan hal itu daritadi." Balasnya sambil menikmati teh hangat.
"Kami hanya ingin tahu tentang kalian berdua lebih dalam." Rendy kembali memancing Afta untuk berbicara.
"Kalian tentu sudah cukup dalam mengenalku dan dia." Ucap Afta sambil memegang lengan Natalia dan tersenyum melihatnya. "Aku ingin ke teras depan." Afta menengok ke arah pintu teras pondok.
"Untuk apa?" Natalia melihat ke Afta yang tengah berdiri membawa cangkir berisi teh yang tinggal setengah. Afta hanya mengeluarkan kotak rokoknya dari kantong kemeja. Natalia pun hanya mengangguk paham.
"Kau mau ikut?" Afta berdiri di depan pintu geser. Melihat ke Natalia.
"Tidak." Jawab Natalia sambil tersenyum melihat Afta. "Aku disini saja."
Afta tidak berpikir panjang. Dia langsung menuju teras. membiarkan pintu teras terbuka. Dia meletakkan cangkir di atas meja bundar kecil. Dia duduk di kursi kecil di pojok teras. Menghadap langsung ke arah air mancur yang masih sibuk menari disana. Suara percikan air berteriak mengisi suara. Pantulan cahaya dari bawah air mancur yang meledak kemana-mana. Sekelompok ikan pun ikut hadir menemaninya disana. Rona bintang yang membentuk bintik-bintik di langit. Memancarkan warna mati.
Afta berdiri dari duduknya. Membiarkan teh di meja mendingin. Dia membakar rokoknya, dan menyandarkan tangannya di atas pagar teras. Gumpalan asap putih keluar dari mulutnya. Berlarian tertuntun angin malam. Sambil memutar-mutarkan korek tersebut dengan tangan kirinya. Membiarkan rambut panjangnya menari di kepala. Dia tidak menyadari Rendy tengah berdiri kaku di depan pintu geser.
Dia mulai menyadari ketika mendengar suara pintu geser yang ditutup Rendy. Afta sempat menoleh sebentar dan kembali diam melihat air mancur di depan.
"Jadi..." Rendy mengeluarkan rokok dari kantong. Membakarnya dan menghisapnya sejenak. Afta sama sekali tidak penasaran dengan ucapan Rendy yang sengaja digantung. Dia masih diam melihat air mancur. "Ketika kamu tidak hadir di sekolah waktu itu, kamu sedang pergi berdua?" Rendy duduk di kursi sebelah meja.
"Berapa kali aku harus menjawab pertanyaan itu?" Afta sama sekali tidak menengok. "Aku sudah mengakuinya tadi. Dan kau masih tetap menanyakan hal yang sama."
"Bukan begitu." Rendy tertawa kecil. "Aku hanya sedikit tidak percaya diri?"
"Tidak percaya diri?" Afta menghadap ke Rendy dan menyandarkan badannya di pagar. "kenapa?" Tanyanya.
"Aku selalu berharap bisa dekat dengan seorang perempuan." Rendy menunduk sambil tertawa kecil.
Cahaya purnama menyala terang. Suara angin yang bersentuhan dengan daun-daun di ranting pohon. Percikan air yang masih bernyanyi tiada henti. Afta masih berdiri bersandar di pagar. Melipat tangannya di depan dada dengan rokok yang masih menyala di bibirnya. Mendengarkan cerita-cerita Rendy. Sesekali mereka tertawa mendengar pengalaman yang konyol.
Rendy mematikan rokoknya di asbak. "Aku selalu berharap bisa menjadi sepertimu." Rendy melihat ke Afta.
"Mengapa begitu?" Afta mengangkat bahu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Let's Write The Next Chapter Of Our Lives
عشوائيNo need to be alone No need to be afraid It's going to be alright You just need a little patience Even though it all just hard to take Just write the next chapter of our lives P.S. jika kalian merasa bosan saat membaca awal cerita, maka kalian tidak...