Bayi Bongsor

16.8K 1.5K 172
                                    

Narend, menyingkap selimutnya kasar. Matanya yang sudah terbuka sempurna menatap jam dinding berwarna biru langit yang terpasang di dinding berwarna senada di dalam kamarnya.

Pukul 3 pagi, Narend mengerang, bahkan ini belum subuh. Tapi perutnya sudah minta di isi. Narend mengusap perutnya yang berotot, merutuki cacing sebesar anaconda yang mungkin bersarang di sana yang menyebabkan dirinya selalu lapar.

"Ayolah perut, bersahabatlah sedikit. Seenggaknya sampai besok pagi." Narend berdialog dengan perutnya sendiri.

Tapi , bukannya menurut, perutnya malah terus berbunyi.

"Rend, kenapa belum tidur ?"

Suara itu membuat Narend menoleh, di depan pintunya yang tidak tertutup sempurna, Fazka berdiri di sana dengan segelas air putih di tangan.

Narend langsung bangun dan menghampiri teman abangnya itu, tidak ingin menyia – nyiakan kesempatan emas untuk meminta makanan.

"Bang Fazka." Narend membuat suara yang di manis – maniskan .

Fazka menghela nafas, "Laper ?" tebaknya.

Narend mengangguk cepat, dengan gerakan kepala, Fazka menyuruh Narend mengikutinya kebawah.

Rumah itu sudah Nampak sepi, jelas saja, teman – temannya pasti sudah terlelap tidur. Apalagi kakaknya, mengingat belakangan ini Mada sering begadang karena sedang menyiapkan desain untuk project terbaru di kantornya.

Fazka bergerak ke arah kulkas, mengeluarkan sosis dan memotong – motongnya , kemudian menaruhnya di atas roti kemudian di lapisi roti lagi, dan menggorengnya di atas wajan.

Narend melihat betapa lihainya Fazka dalam memasak, sejak mereka memutuskan untuk tinggal bersama, Narend selalu dibuat terkejut dengan kemampuan Fazka memasak.

"Harusnya bang Mada mulai belajar masak dari abang ya." Gumam Narend, kedua tangannya bertumpu pada dagu.

Fazka menoleh, "Mana mau dia belajar kayak gini, yang ada, dia malah hancurin dapur abang." Fazka berkomentar, kemudian kembali focus pada rotinya.

Beberapa menit kemudian, di depan Narend tersaji dua buah roti lapis dengan irisan sosis di dalamnya, dengan semangat. Narend memasukan roti itu ke dalam mulutnya dalam sekali suapan membuat Fazka berdecak kagum karena roti itu langsung habis dalam sekali telan.

"Abang duluan ke atas ya, besok piket pagi. Jangan lupa piringnya cuci." Pesan Fazka, kemudian beranjak dari dapur dan pergi ke kamarnya di lantai 2.

***

Narend itu, adalah bocah yang terjebak dalam tubuh pemuda berusia 23 tahun. Begitulah pikiran Mada pada sang adik.

Bagaimana tidak, pagi tadi, dia melihat Narend tertidur di bangku meja makan dengan kepala menempel pada meja, sementara di depannya ada sebuah piring kotor yang Mada tebak bekas menaruh makanan yang sudah pasti dibuatkan Fazka, karena adiknya itu hanya berani meminta makanan pada temannya yang berbahu lebar itu.

"Rend, bangun." Mada yang sudah bersiap berangkat ke kantor menepuk – nepuk punggung adiknya, tidak ada jawaban, dengkuran halus terdengar dari mulut Narend.

"Narendra!" Kali ini Mada memukul punggung Narend kencang, membuat Narend terperanjat namun matanya tak kunjung terbuka.

Narend menggeliat, meregangkan badannya yang terasa pegal.

"Eh, abang. Kok abang ada di kamar Narend ?" Tanya Narend yang belum sadar sepenuhnya.

"Kamar kamu apanya ?! Buka tuh mata kamu, ini dimana!" bentak Mada kesal, ini masih terlalu pagi tapi adiknya ini sudah membuat Mada naik pitam.

Our Path : Sibling  ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang