Sebelah alis Narend terangkat, saat mendapati 3 orang anak SMA yang dulu pernah dia temui di sekolah tempat Dante mengajar berdiri di depan pintu rumahnya.
"Abang yang waktu itu ke sekolah ya ?" Jika Narend tak salah mengingat nama, itu adalah Aldan si ketua geng.
Narend mengangguk, "Ada apa kalian ke sini ?"
"Pak Dante ada ?" Aldan kembali bertanya.
"Ada, masuk." Narend membukakan pintu lebih lebar, mengantar mereka ke ruang tengah. "Dia lagi di kamarnya, sebentar." Narend beranjak dari ruang tengah menuju kamar Dante saat dia berpapasan dengan Sendy yang keluar dari kamarnya.
"Siapa ?" Sendy bertanya seraya menengok ke ruang tengah.
"Muridnya Dante." Jawab Narend singkat, dan kembali berjalan menuju kamar Dante yang terletak di bagian belakang.
Sementara itu, Sendy yang penasaran sudah menghampiri ketiga anak yang sedang memandangi dekorasi rumah bergaya klasik minimalis itu.
"Kalian, muridnya Dante ?" tanya Sendy pada ketiganya.
Mereka kompak mengangguk, sambil memperhatikan Sendy dengan bingung karena tiba - tiba saja muncul dan bertanya.
"Dia gimana kalau di sekolah ? galak nggak ?" Selidik Sendy.
"Pak Dante orangnya baik, dekat sama semua murid apalagi murid yang nakal kayak kita, kadang galak sih, tapi itu buat kebaikan kita." Jawab Aldan sambil tersenyum.
Sendy melipat tangan ke dada. "Wah, pemikiran lo bagus juga." Sendy mengakui.
Aldan tertawa kecil, "Itu kata - kata bang Narendra."
Sendy mengernyit, "Narendra ? yang tadi maksudnya ?"
Aldan mengangguk.
"Woy, ngapain lo sama anak murid gue ?" Tahu - tahu Dante menepuk bahu Sendy cukup kencang membuat Sendy mengaduh. "Lo nggak ajarin mereka yang macem - macem kan ?" Dante tidak mau anak muridnya jadi aneh seperti Sendy.
"Enggak lah, yaudah gue mau ke tempat les dulu. Duluan ya." Pamit Sendy pada ketiga anak murid Dante .
Dante duduk dihadapan ketiganya setelah Sendy pergi, melipat kedua tangannya ke perut. "Nah, ada apa kalian kemari ?" Dante bertanya.
"Bapak tinggal bertiga sama mereka ?" Bukannya menjawab mereka malah mengajukan pertanyaan lagi.
"Bertujuh."
".."
***
"Tadi pada ngapain ke sini ?" Narend bertanya seraya meneguk colla nya saat melihat Dante yang sibuk mencuci piring.
"Cuma minta saran soal jurusan sama kampus yang bagus buat mereka." Jawab Dante tanpa menoleh pada Narend, fokusnya masih berpusat pada piring yang sedang dicucinya, Dante itu bukan orang yang multitasking, kalau dia mengalihkan fokus dari piring itu bisa - bisa gajinya dipotong untuk membeli piring baru.
"Ohh." Hanya itu jawaban Narend, dia jadi memikirkan sesuatu.
"Makasih ya rend."
Narend menatap Dante bingung.
"Makasih buat apa ?"
Dante menaruh piring yang selesai dicucinya ke dalam rak, baru dia menatap Narend sambil tersenyum yang membuat lesung pipinya terlihat. "Karena kata - kata lo waktu itu, membuat mereka semua berubah. Dan buat mereka mulai memikirkan masa depan mereka. Makasih." Dante mengusap bahu Narend sekilas sebelum meninggalkan dapur.
KAMU SEDANG MEMBACA
Our Path : Sibling ✔
Fiksi Penggemar[ Lokal Fiction Series ] OUR PATH SERIES #1 Mada itu Timur Narend itu Barat Keduanya sangat berbeda, tapi mereka diikat dengan satu tali persaudaraan. ©2017 by LadyInMoonlight