Narend baru selesai memenangkan ronde pertama permain Doom sejenis game tembak - tembakan point blank dan kawan - kawannya. Baru saja Narend meregangkan badannya saat bunyi telepon di ruang tengah memecah keheningan di rumah yang hanya ada Narend sendirian di sana.
"Hello, Narendra speaking."
"Enggak usah sok bahasa inggris, ini gue, Julian." Suara disebrang sana menjawab sapaan Narend.
"Oh, lo. Kenapa ?"
"Di rumah ada siapa ?"
Narend melirik kanan - kirinya, memastikan hanya ada dia di sana. "Gue doang, kenapa ?"
" Tolong bawain lensa kamera gue dong, ketinggalan di kamar. Gue butuh banget buat kerjaan hari ini." Pinta Julian.
Narend berpikir sebentar.
"Rend, masih di sana kan ?" Julian memastikan sambungan masih terhubung, karena Narend tak kunjung menjawab.
"Hmm iya, sekarang ?"
"Ntar, tunggu kakak lo nikah. Ya sekarang lah." Suara Julian terdengar kesal karena pertanyaan Narend.
"Ok, setengah jam lagi gue sampai." Narend melirik sekilas jam dinding sambil menghitung waktu untuk sampai di studio Julian.
"Kelamaan, 20 menit."
Narend berdecak, "15 menit deh, harga temen nih Jul." Narend bernegosiasi.
"Lo pikir nawar dipasar pake harga temen ! yaudah, 15 menit lagi lo udah harus sampai sini ya. Kasian model gue."
Setelah meng-iyakan, Narend menutup telepon, memastikan PS nya sudah mati dan bersiap mengantar lensa kamera Julian ke studio.
***
Sebenarnya, Narend malas sekali hari ini keluar rumah, cuaca sedang panas - panasnya, belum lagi kemacetan Jakarta yang membuatnya semakin kesal, dan Julian hanya memberinya waktu 15 menit untuk sampai ke studinya yang jaraknya lumayan. Kalau saja di rumah ada orang lain selain Narend, sudah pasti dia akan menolak.
Narend memarkir motornya di depan Jul's Studio , studio milik Julian.
Sampai di loby, Narend disambut dengan senyum ramah oleh seorang resepsionist sekaligus merangkap kasir.
"Maaf mas, kami nggak menerima agen MLM." wanita berambut pendek sebahu itu langsung bicara saat Narend baru saja akan membuka mulut.
"He ?"
"Mas, mau nawarin MLM kan ? maaf mas, tapi di sini enggak ada yang berminat ikut."
Narend menggaruk kepalanya yang tidak gatal, kemudian menaruh tas kamera milik Julian di atas meja, memasang senyuman penuh keterpaksaan. "Saya teman Julian mbak, saya ke sini mau antar kamera." Narend menepuk - nepuk tas Julian.
"Oh, bukan mau nawarin MLM ? maaf, saya pikir-" resepsionist itu terlihat merasa bersalah.
Lagi, Narend berusaha tersenyum meski kesal. "Enggak apa - apa mbak, udah biasa kok. Julian ada kan ?"
"Ada mas, silakan masuk."
Narend langsung menyambar tasnya dan berjalan ke sebuah ruangan di bagian belakang, disepanjang lorong, Narend melihat berbagai macam foto yang sudah pasti hasil jepretan Julian. Narend mendorong pintu hijau tua di depannya, mendapati sosok Julian yang tengah berkutat dengan laptopnya.
"Jul." Narend masuk ke dalam.
"Eh, lo udah dateng." Julian melihat jam tangan yang melingkar di pergelangan tangannya. "Cepat juga."
KAMU SEDANG MEMBACA
Our Path : Sibling ✔
Fanfiction[ Lokal Fiction Series ] OUR PATH SERIES #1 Mada itu Timur Narend itu Barat Keduanya sangat berbeda, tapi mereka diikat dengan satu tali persaudaraan. ©2017 by LadyInMoonlight