Move

5.5K 972 54
                                    

Makan malam kali ini, seperti biasa dipersembahkan oleh tangan ajaib Fazka yang selalu bisa menyulap bahan sederhana menjadi hidangan yang sangat lezat, semua menikmati makan malamnya, sesekali berbincang tentang kegiatan mereka hari itu, tentang Fazka yang tadi pagi melakukan kunjungan ke sekolah dasar, sampai cerita Dante yang kewalahan menghadapi murid – muridnya membawa majalah yang serupa dengan majalah yang dimiliki Julian.

" Eh iya da, lo jadi ambil kerjaan di Belanda ?" Tiba – tiba Orion yang duduk di sebrang Mada bertanya.

Sontak saja semua mata menatap ke arahnya, bukan tatapan kaget, tapi lebih kepada tatapan yang berusaha menghentikan kalimat Orion meskipun sudah terlambat.

"Abang mau ke Belanda ?" Tanya Narend.

"Rencananya." Mada menjawab tanpa menatap adiknya itu.

"Wah, sampai kapan bang ? enak ya, kerjanya jalan – jalan mulu." Ledek Narend, abangnya itu memang sering ditugaskan keluar kota untuk urusan pekerjaan, tapi baru kali ini Mada ditugaskan pergi ke luar negeri.

"2 tahun."

Narend berhenti mengunyah makanannya, menatap Mada seolah dia salah mendengar.

" 2 tahun ?"

Mada mengangguk.

"Tapi – kenapa lama banget ? terus abang pulang pergi ?"

"Ya enggak mungkin lah rend."

Bukan, bukan Mada yang menjawab pertanyaan Narend, melainkan Orion yang sekarang mulutnya sudah dibekap oleh Sendy yang duduk di sebelahnya.

"Jangan bilang, abang pindah ke sana ?"

Mada menghela nafas, "Baru rencana."

Narend meletakan sendok dan garpunya dengan kasar, membuat bunyi gaduh yang membuat semua mata menatapnya ngeri, kecuali Mada yang masih tenang memakan makan malamnya.

"Abang berencana pindah tapi nggak kasih tahu Narend ?" Narend menatap Mada dengan tatapan kecewa, "Kalian semua tahu soal ini ?" Narend mengedarkan pandangannya pada teman – temannya.

Semua diam, tanpa menjawab pun Narend tahu mereka semua sudah mengetahui rencana Mada.

"Ayah dan ibu nggak akan –"

"Abang udah kasih tahu mereka." Mada memotong kalimat Narend.

Lama, Narend diam, kemudian mendengus, "Wah... jadi di sini cuma gue aja yang nggak tahu tentang hal ini?" Narend tertawa, menertawakan dirinya sendiri yang merasa dibohongi dan dibodohi oleh mereka semua, termasuk kakaknya sendiri.

"Abang nunggu waktu yang tepat buat kasih tahu hal ini sama kamu." Mada meletakan peralatan makannya, menatap sang adik yang sekarang menatapnya balik penuh kemarahan.

"Kapan ? waktu abang mau pergi baru abang bilang sama Narend ? ini bukan tentang abang pindah ke Bandung atau Jogja, ini luar negeri bang, Belanda itu jauh, dan abang bahkan nggak minta pendapat Narend dulu soal ini. Narend ini adik abang, tapi mereka semua lebih duluan tahu tentang hal ini daripada adik abang sendiri !" Narend benar – benar merasa sakit hati.

"Karena abang tahu kamu akan bereaksi kayak gini! Abang tahu kamu nggak akan setuju sama kepindahan abang ke sana!" Suara Mada meninggi, Mada tahu, pertengkaran ini pasti akan terjadi.

"Jelaslah Narend nggak setuju ! Keluarga abang di sini, adik abang di sini, teman – teman abang di sini. Kenapa abang lebih milih pergi ?! Abang udah nggak peduli lagi sama Narend ?"

Teman – temannya yang lain hanya bisa melihat pertengkaran keduanya, rasanya sudah sangat lama mereka tidak melihat pertengkaran besar kedua kakak beradik itu, dan mereka hanya bisa diam dan berjaga – jaga jika suasana menjadi semakin kacau.

Our Path : Sibling  ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang