The Truth

6.1K 1K 95
                                    

Truth is like a surgery, it hurts but cures. Lie is like a pain killer, it gives instant relief but has side effects forever

.

.

.

Fazka tahu, ada yang sedang dipikirkan oleh Mada, karena Mada yang tadinya excited setelah pulang dari Belanda sekarang diam dan sesekali menatapnya. Fazka tahu, Mada beberapa kali mencuri pandang padanya, dengan tatapan yang tidak bisa Fazka jelaskan.

"Belum tidur da ?" Tanya Fazka saat mendapati Mada tengah duduk di balkon lantai dua.

Mada menggeleng, Fazka menarik bangku dan ikut duduk di sebelah Mada.

"Ada yang lagi lo pikirin ?" Fazka bertanya lagi.

Mada menghela nafas, percuma menyembunyikan perasaan risaunya dari Fazka. "Narend berubah."

Fazka mengernyit, "Bukannya bagus ? itukan yang lo mau, Narend sekarang jadi lebih dewasa, lebih mandiri, dia bahkan udah mau kuliah lagi. Terus apa yang lo pikirin ?"

Mada memalingkan wajahnya menghadap Fazka, "Tapi bersamaan dengan itu, gue ngerasa Narend jauh dari gue, dia, kayaknya sekarang lebih nyaman sama lo."

Fazka menelengkan kepalanya, matanya menyipit. "Lo cemburu lagi sama gue ?" mengingat dulu, Mada juga pernah seperti ini, cemburu padanya.

Mada mengangkat bahu, "Mungkin, gue ngerasa nggak nyaman aja lihat Narend lebih nempel sama lo dari pada gue."

Fazka memang anak tunggal, dia tidak pernah merasakan punya seorang adik atau kakak, tapi dia bisa mengerti bagaimana perasaan Mada saat melihat adiknya yang sudah dia tinggalkan hampir dua tahun malah terlihat nyaman dengan orang lain.

"Narend cuma butuh waktu, nanti juga dia nempel lagi sama lo, gue cuma di jadiin pemain figuran lagi. Ibarat kata, gue itu lagi jadi pemain cadangan yang lagi diturunin buat gantiin pemain utama yang cidera. Pas pemain utamanya sembuh, gue ditarik lagi." Fazka membuat perumpamaan yang membuat Mada mendengus geli.

"Sejak kapan lo belajar perumpaman ? kebanyakan main sama Dante ya ?" Ledek Mada.

Setidaknya Mada tahu, Fazka hanya mengisi bagian kosong yang dia tinggalkan untuk sementara waktu.

Mungkin Narend memang butuh waktu.

***

Mada bergegas memasuki rumahnya, membawa flyer pamflet yang didapatnya dari kantor. Matanya mendapati teman - temannya sedang berada di ruang tengah, menonton televisi, termasuk Narend.

"Udah pulang da ?" Orion yang lebih dulu menyadari kepulangan Mada.

"Iya." Jawab Mada singkat sebelum menghampiri adiknya yang duduk di karpet sambil mengunyah kentang goreng. "Rend." Mada menyentuh lengan adiknya, meminta Narend berdiri.

"Kenapa bang ?" Tanya Narend bingung.

"Ini." Mada memberikan flyer pamflet itu pada Narend.

Narend melihatnya sekilas kemudian kembali menatap Mada bingung, "Kenapa ?"

Mada mengambil pamflet itu, "Tadi pas abang meeting sama klien, mereka bagiin ini. Itu ada lomba dance nya lho." Mada menunjuk kalimat yang menunjukan diadakan berbagai lomba untuk memeriahkan acara peluncuran Gedung Gelanggang Pemuda.

"Iya, terus kenapa ?" Narend terlihat tidak suka.

"Tadi abang udah dapat formulirnya, terus abang inisiatif buat isi nama kamu di sana. Jadi kamu tinggal kirim video dance kamu aj-"

Our Path : Sibling  ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang