The Conversation

5.5K 1K 50
                                    

Sendy menggeliat dari tidur nyenyaknya,  matanya mulai terbuka perlahan - lahan, kemudian menoleh pada sosok yang sedang tenang menyetir di sebelahnya.

"Kita udah sampe dimana rend?" tanya Sendy pada Narend, mata Sendy melihat keluar kaca mobil,  kemudian pada jam di ponselnya, hampir subuh,  tapi langit masih nampak gelap.

"Udah masuk pangandaran sih,  paling sebentar lagi sampe.  Kalo masih ngantuk tidur lagi aja." Jawab Narend sepintas menoleh pada Sendy, kemudian kembali pada jalanan.

"Mau gantian?" Sendy menawarkan.

Narend menggeleng,  "Enggak usah,  tanggung." Tolak Narend.

Sendy menatap Narend iba,  karena sudah membiarkan temannya itu menyetir berjam - jam sementara dirinya sendiri tertidur lelap di kursi penumpang,  salahkan Narend dan otak kurang kerjaannya yang tengah malam membangunkan Sendy, memintanya untuk pergi menemani Narend,  dan salahkan keluguan Sendy yang dengan polosnya mau saja menemani Narend berpergian tengah malam dengan tujuan sebuah pantai di daerah pangandaran.

Lagipula,  tumben banget Narend mengajak Sendy pergi seperti ini,  karena sejak mereka punya kesibukan masing - masing,  hampir tidak ada waktu untuk mereka seperti ini,  mau tak mau Sendy senang juga,  dia juga lelah berada di Jakarta,  melipir sebentar keluar Jakarta bukanlah ide yang buruk kan?

Selang 30 menit,  mobil yang dikendarai Narend memasuki kawasan pantai pangandaran, keduanya turun dari mobil, sepasang kaki mereka berjalan di atas hamparan pasir pantai dan memilih duduk di tepian pantai, tidak ada obrolan di antara mereka berdua, keduanya tenggelam dalam suasana yang hening dan tenang itu, ditemani deburan ombak, dan langit pagi yang mulai berwarna kuning keemasan.

"Kenapa tiba - tiba lo ajak gue ke sini ?" tanya Sendy ketika 10 menit berlalu dengan hening.

"Pengen aja." Jawaban Narend mengundang decakan Sendy.

"Lagi berantem sama bang Mada ?"

Narend menggeleng, "Enggak, gue emang lagi mau jalan - jalan aja, lagian udah lama kan kita enggak punya quality time berdua kayak gini ." Jawab Narend membuat Sendy bergidik ngeri kemudian menoyor kepala Narend.

"Omongan lo barusan itu kayak lagi ngomong sama pacar yang lagi ngambek karena enggak di ajak pergi, merinding gue." Sendy mengusap kedua lengannya.

Narend terkekeh, "Udah enggak sedih lagi ?" Kali ini Narend balik bertanya.

"Sedih ?"

"Kemarin - kemarin, lo kelihatan sedih, terus kemarin sore gue lihat lo lagi mandangin foto orang tua lo. Lo kangen sama mereka ya ?"

Sendy tidak menyangka, itu adalah alasan Narend membawanya jauh - jauh kemari, hanya untuk menghiburnya.

"Lo perhatian banget deh sama gue." Sendy menyengol Narend. "Dulu, waktu gue kabur ke jogja, gue juga sering ke pantai. Bahkan semalaman gue duduk di pinggir pantai sambil merenung." Sendy bercerita.

"Sen, boleh gue tanya?"

Sendy menoleh pada Narend, kemudian mengangguk.

"Kenapa lo kabur ke Jogja waktu itu ? Ya, gue tahu masalah lo dan Julian, juga bang Fazka dan Dante, tapi kenapa lo memilih kabur ?" Pertanyaan itu sebenarnya sudah sangat lama ingin Narend tanyakan, mungkin juga teman - temannya yang lain ingin bertanya hal yang sama, hanya saja mereka merasa tidak enak, mnegingat itu adalah masalah pribadi Sendy. Tapi entahlah, kali ini Narend memberanikan diri bertanya.

Sendy menghela nafas, mengingat kembali saat dimana dia memilih pergi, "Mungkin karena saat itu gue seorang pengecut. Gue terlalu pengecut untuk mengakui bahwa Julian, berusaha untuk menebus kesalahan yang di perbuat ayahnya sama keluarga gue, gue terlalu pengecut untuk mengakui ketulusan Julian untuk jadi sahabat gue, gue terlalu pengecut buat ngakuin kalo gue terlalu egois untuk menerima itu semua."

Our Path : Sibling  ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang