Memory

5.9K 1K 95
                                    

Narend masih menatap lekat pada rintik hujan yang membasahi jendela kamarnya, dia sudah tidak mendengar lagi suara teriakan Mada yang penuh kesedihan memanggil namanya. Narend tahu Mada terluka,  marah, dan kecewa karena tidak ada yang memberitahu keadaan Narend padanya, meskipun dia punya hak untuk itu.

Tapi lebih dari itu, Narend tahu Mada menyalahkan dirinya sendiri.

Langkah kaki Narend berjalan pelan menuruni anak tangga, samar dia mendengar suara isakan dan lampu dapur yang masih menyala dengan penerangan yang remang - remang, dia melihat Mada di sana, menangis dengan kedua tangan menutupi wajahnya.

Narend tahu abangnya itu sedang menyalahkan dirinya sendiri, sama seperti dulu, saat Narend terluka karena ketidak perduliannya.

***

"Abang." Suara Narend menyapu gendang telinga Mada yang tengah tidur siang di kamarnya. Tapi Mada tidak berniat untuk bangun, dia mengantuk dan Narend selalu berusaha mengganggu tidur siangnya.

"Abanggg!!"

Kali ini Mada membuka matanya karena teriakan Narend tepat ditelinganya, Mada meatap Narend gusar, sementara Narend menatapnya dengan cengiran jahil.

"Ada apa sih ?" Tanya Mada ketus.

"Main yuk."

Mada merotasikan matanya, mengambil guling yang terjatuh ke bawah tempat tidur. "Kamu ganggu abang tidur tahu nggak ? Sana main sendiri." Usir Mada.

"Ayo dong bang main."  Narend menarik - narik tangan Mada.

Mada berdecak, "Main aja sana sama  Fazka, jangan ganggu abang."

"Bang Fazka kan lagi kena cacar, Narend nggak boleh dekat - dekat katanya. Lagian, Narend maunya main sama abang. Semua teman - teman Narend suka main bareng kakaknya, tapi abang nggak pernah mau main sama Narend." Narend menatap ujung kakinya, dia sedih, kakaknya tidak seperti  kebanyakan kakak teman - temannya, setiap kali kali Narend bersama teman - temannya, mereka selalu membicarakan betapa baiknnya kakak mereka, sementara Narend, dia hanya bisa mendengarkan semua cerita itu tanpa bisa berbagi apa - apa dengan teman - temannya.

"Itu kan kakak mereka, jangan sama - samain abang sama orang lain." Mada menatap adiknya kesal, "Udah sana, kamu main sendiri aja. Udah gede juga, main aja masih minta ditemani. Abang ngantuk." Dan Mada memilih memejamkan matanya lagi, sayup, dia mendengar suara langkah Narend yang keluar dari kamarnya.

Mada memang begitu, dia tidak terlalu suka direpotkan dalam hal menjaga adiknya, lagipula mereka hanya beda satu tahun, Mada saja tidak semanja itu, dia bisa bermain dan melakukan hal - hal lain sendiri, menurut Mada, Narend bersikap manja padanya karena merasa dia itu seorang adik, dan adik harusnya dimanja bukan ?

Lagipula, ada Fazka yang selalu mau bermain dengan Narend, jadi Mada tidak terlalu ambil pusing, malah dia senang, jadi adiknya itu tidak menganggu waktu - waktu berharganya, seperti tidur siangnya ini.

"Huwaaaaaa bang Mada !!" 

Mata Mada membuka lebar mendengar teriakan Narend yang cukup keras, Mada melempar guling yang dipeluknya sembarangan, berlari menuju sumber suara itu. Dia bisa mendengar suara Narend menangis.

"Narend !"  Mada setengah berteriak panik mendapati Narend dibawah pohon rambutan milik mereka dengan kepala berdarah.

"Abanggg, sa-kit." Narend terus menangis sebelum akhirnya jatuh pingsan.

"Narend! Narend bangun!" Mada panik, di rumahnya  tidak ada siapa - siapa. Mada menggendong Narend menuju kamar Fazka, tidak perduli saat itu Fazka sedang terkena cacar, dia tidak mau terjadi apa - apa pada adiknya.

Beruntung, ayah Fazka ada di rumah saat itu, dan mereka segera membawa Narend ke rumah sakit, Mada bersumpah itu adalah hari paling menakutkan dalam hidupnya, dia takut kehilangan Narend.

Dan saat orang tuanya datang, Mada langsung menangis dalam pelukan ibunya, kali pertama mereka melihat Mada menangis sekeras ini, Mada yang biasanya terlihat galak dan dingin, menangis kencang dalam pelukan sang ibu.

"Ini semua salah Mada bu, Narend terluka gara - gara Mada nggak bisa jagain Narend." Ucap Mada disela tangisnya.

"Bukan bang, ini bukan salah abang. Narend pasti baik - baik aja." Ibunya berusaha menenangkan anak tertuanya itu.

Dokter bilang, tidak ada cedera yang serius, meskipun Narend harus mendapat lima belas jahitan di kepalanya. Meskipun dokter bilang Narend baik - baik saja, Mada tetap menyalahkan dirinya sendiri.

Harusnya dia tidak mengacuhkan Narend saat itu, harusnya dia bermain bersama Narend, harusnya dia menjaga Narend. Kakak macam apa yang tidak bisa menjaga adiknya sendiri ?

Mada tidak berani menemui Narend, dia malu, dia takut, padahal ibunya bilang Narend selalu menanyakan keberadaan kakaknya. Bahkan sampai Narend pulang ke rumah, Mada tidak pernah berani menatapnya, berbicara padanya pun tidak.

Suatu malam, Narend baru saja selesai dari kamar mandi, saat melintas kamar sang kakak, dia mendengar suara isakan, Narend memberanikan diri membuka pintu itu, mengintip ke dalam. Narend melihat Mada menangis meringkuk ditempat tidurnya.

"Abang, abang kenapa nangis ?" Narend membuka pintu lebar, naik ke tempat tidur Mada. "Ada yang jahatin abang ya di sekolah ?"  Tanya Narend lagi.

Mada menatap perban dikepala Narend, kemudian memeluk adiknya itu. "Maafin abang rend, maaf. Abang nggak bisa jaga kamu, kamu begini gara - gara abang." Mada menangis sambil memeluk Narend.

Narend mengerjap, baru kali ini dia melihat abangnya menangis. "Abang nggak salah."

"Abang salah! abang nggak perhatian sama kamu, abang nggak perduli sama kamu, abang nggak bisa jadi kakak yang baik buat kamu, abang nggak bisa jadi seperti kakak - kakak teman kamu yang selalu ada buat adiknya." Mada mengakui perasaanya, rasa bersalah yang beberapa lama ini tersimpan didalam hatinya.

"Narend tahu abang nggak seperti kakak - kakak teman Narend, abang emang nggak pernah nemenin Narend main, abang emang selalu mengacuhkan Narend. Itu buat Narend sedih, karena Narend pikir abang nggak sayang sama Narend."

Mada melepaskan pelukannya, kedua tangannya menangkup pada pipi Narend yang berisi. "Abang sayang sama kamu rend, abang takut kehilangan kamu kemarin."

Mada tidak bisa membayangkan bagaimana jadinya jika dia kehilangan Narend, mungkin Mada selamanya akan dihantui rasa bersalah.

"Jangan salahin diri abang lagi, Narend nggak suka lihat abang sedih. Narend lebih suka lihat abang marah - marah." Narend mengerucutkan bibirnya.

Mada mengangguk, "Abang janji, mulai sekarang, abang akan jadi kakak yang lebih baik buat kamu, abang akan selalu jagain kamu."

"Termasuk nemenin Narend main ?"

Lagi, Mada mengangguk. "Iya, abang akan selalu nemenin kamu main kapan pun kamu mau."

Narend meloncat - loncat di tempat tidur Mada, "Asyik !!! Narend sayang bang Mada." Narend memeluk Mada.

"Abang juga sayang kamu rend, sayang banget." Mada berbisik dalam pelukan Narend.

***

Narend ingat, sejak kejadian itu sikap Mada berubah padanya, Mada yang perhatian, Mada yang protektif Mada yang cerewet padanya walau terdengar ketus.

Dan jika dulu Narend akan bilang itu bukan kesalahan Mada, kali ini Narend tidak bisa bilang seperti itu.

Our Path : Sibling  ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang