Seperti janji mereka, begitu Narend pulih dan di perbolehkan pulang, Narend dan Mada pergi mengunjungi rumah kedua orang tua mereka.
Begitu Narend membuka pintu mobil yang baru saja terparkir di garasi, Narend sudah bisa mencium aroma masakan sang ibu.
"Wuahhh, ibu pasti masak opor ayam." Narend terlihat gembira dan langsung masuk ke dalam, meninggalkan Mada yang hanya bisa geleng - geleng kepala melihat tingkah adiknya.
"Ibu." Narend langsung memeluk ibunya yang sedang memasak.
"Eh, kamu udah datang." Ibunya mematikan kompor, Narend mencium punggung tangan sang ibu, di susul Mada yang muncul kemudian.
"Ayah mana bu ?" tanya Mada.
"Ayahmu lagi ibu suruh ke warung sebentar, kalian istirahat dulu aja. Nanti kita makan siang sama - sama." Ibunya menyiapkan perlengkapan untuk membuat sambal.
"Bu, ibu denger enggak ?" tanya Narend tiba - tiba.
"Dengar apa ?"
"Masa ibu enggak denger, suara perut Narend ini loh bu."
Mada merotasikan matanya, kemudian meninggalkan Narend dan ibunya yang sibuk di dapur. Memilih duduk di ruang televisi, menyetel berita.
"Eh bang, udah dateng." Ayahnya, pulang dengan kantong plastik hitam di tangannya.
"Iya yah, baru aja sampai." Mada mencium tangan sang ayah, yang meskipun usianya sudah tidak muda lagi tapi masih terlihat gagah, postur tubuhnya mirip dengan Narend.
"Ayah." Suara ceria Narend langsung menerbitkan senyum lebar di wajah ayahnya.
"Kamu enggak kelihatan abis sakit rend." Sang ayah memeriksa keadaan Narend sekilas kemudian mengacak - acak rambut anak bungsunya itu.
"Narend kan kuat kayak ayah, sakit kayak gitu aja sih, enggak ada apa - apanya." Jawab Narend sombong.
"Coba kamu sakit kayak abang, masih bisa bilang kamu kuat kayak ayah ?" Ledek Mada pada sang adik yang langsung membuat wajah Narend merengut.
"Ibu senang deh kalau kalian berdua pulang, rumah jadi rame, iyakan yah ?" Ibunya keluar dari dapur sambil menyiapkan meja makan, Mada beranjak dari sofa dan membantu ibunya membawa semangkuk opor ayam dan tempe goreng.
"Iya, rumah jadi enggak sepi." Komentar ayahnya kemudian duduk lebih dulu di meja makan.
Sisa siang itu mereka habiskan dengan makan siang bersama, dan mengobrol, maklum, sudah 3 bulan lebih Mada dan Narend tidak pulang ke rumah, ayah dan ibunya sangat rindu dengan kedua anak laki - lakinya yang sekarang sudah tumbuh dewasa, mereka juga merasa bersalah karena tidak bisa melihat pertumbuhan anak - anaknya karena kegiatan mereka masing - masing, beruntung Mada dan Narend mengerti dengan pekerjaan kedua orang tuanya dan tidak banyak mengeluh.
Mada dan Narend pun terlihat senang bisa pulang ke rumah, karena sejauh apapun mereka pergi, rumah ini tetaplah tempat terbaik untuk mereka pulang.
***
Mada sedang mengecek email dari laptopnya, saat wajah sang ibu menyembul dari balik pintu.
"Bang, lagi apa ?" tanya ibunya.
Mada mengalihkan fokusnya pada wajah sang ibu, "Lagi ngecek email kantor bu, ada apa ?"
Ibunya tersenyum, kemudian masuk kedalam, duduk di tepian tempat tidur Mada.
"Enggak apa - apa, ibu cuma kangen aja sama anak - anak ibu."
Mada menutup laptopnya, menaruh benda itu di atas meja. Kedua tangannya mengusap punggung tangan sang ibu yang dulu selalu menyuapinya. "Maaf ya bu, Mada sama Narend harus tinggal jauh dari ibu sama ayah." Mada merasa bersalah.
"Enggak apa - apa, ibu sama ayah ngerti, kalian sudah dewasa, sudah punya kehidupan masing - masing, ibu cuma- enggak nyangka." Tangan ibunya mengusap pipi Mada, "Kalian berdua sekarang sudah pada dewasa semua, ibu ngerasa bersalah karena enggak bisa lihat kalian tumbuh dewasa."
Mada tersenyum, "Ibu udah jadi ibu yang baik buat Mada dan Narend, jadi jangan merasa bersalah kayak gitu, jangan sedih bu, Mada ikut sedih."
Ibunya menghapus air mata di sudut matanya, "Abang kok jadi kurusan sih, malah sekarang Narend yang makin gede badannya." Ibunya memperhatikan tubuh Mada yang terlihat lebih kecil dibanding Narend.
"Mungkin karena Mada mirip ibu, jadi badan Mada segini - gini aja." Ibu mereka memang berpostur kecil persis Mada, sementara postur tubuh Narend sepertinya mengikuti sang ayah.
"Eh iya bu, dulu waktu ibu lagi hamil Narend, ibu ngidam apa sih ?" tanya Mada penasaran.
"Kenapa gitu ? tumben kamu nanya yang kayak gini."
"Enggak apa - apa, Mada mau tahu aja."
Ibunya mengingat - ingat, "Dulu tuh waktu hamil Narend, ibu suka yang aneh - aneh."
"Aneh - aneh gimana bu ?" Mada makin tertarik.
"Ya aneh, masa ya, dulu tuh ada satpam komplek namanya pak Imam, ibu tuh pengen banget megang kumisnya pak Imam, kamu tahu kan kumis pak Raden ? nah kumisnya pak Imam tuh kayak gitu. Terus nafsu makan ibu jadi nambah banget, tiap hari pasti minta di bawain gorengan, bakso, martabak, terus makanan yang aneh - aneh gitu deh. Pokoknya pas hamil Narend itu bener - bener deh, untung ayah kamu sabar." Ibunya bercerita.
Mada mengangguk - angguk.
Ok, Sekarang gue tahu kenapa Narend jadi aneh dan hobi makan.
"Kalau pas hamil Mada, ibu ngidam apa ?" Mada jadi penasaran juga ibunya ngidam apa saat hamil dia.
"Ah, pas hamil kamu mah simple. Kerjaan ibu cuma tidur aja, males ngapa - ngapain, ngidam makanan juga enggak, paling kalau makan harus yang pedes baru bisa makan."
Sekali lagi Mada mengangguk - angguk.
Baiklah, jadi itu asal - usul kenapa gue suka mager dan kalo ngomong suka ketus terjawab sudah.
.
.
.A/n
Double chapter ciyeee, seneng ga? Seneng dong (?)
Anyway, ini bocoran untuk next chapter, ada 2 yang termasuk dalam list request kemarin, hayo yang mana kira - kira request kalian kemarin?
See you next chapter
Flying kiss :*
-A-
KAMU SEDANG MEMBACA
Our Path : Sibling ✔
Fanfiction[ Lokal Fiction Series ] OUR PATH SERIES #1 Mada itu Timur Narend itu Barat Keduanya sangat berbeda, tapi mereka diikat dengan satu tali persaudaraan. ©2017 by LadyInMoonlight