Chapter 21 - All Of Me

110K 5K 115
                                    

Chapter Twenty One – All Of Me

Aku merasakan sebuah ciuman lembut pada keningku, lalu turun kehidungku, dan terkahir pada bibirku. Aku tersenyum tipis ketika merasakan bibir lembut Ben menyentuh bibirku. Rasanya seperti ekstasi dan aku tidak akan pernah puas untuk merasakannya terus menerus.

Good morning, Sunshine…” Suara Ben yang serak itu menyapaku, dan aku merasakan bibirnya menyapu kupingku dengan lembut.

Aku membuka mataku, melihat Ben yang tertidur disampingku dengan wajah indahnya yang menatapku. Aku merasa sangat berharga berada didekatnya, tidur disampingnya. Aku tersenyum tipis padanya. “Hei.” Suaraku terdengar sangat jelek, mungkin efek karena semalaman aku terus menangis tanpa sebab atau efek karena bangun tidur.

“Tidurmu nyenyak?” tanyanya.

Aku menangguk pelan. Anehnya, tidurku memang nyenyak. Aku sudah tidak memikirkan papa dan mamaku lagi, tidak memikirkan kalau aku adalah manusia paling berdosa didunia itu, ataupun memikirkan tentang semuanya. Aku merasa semua bebanku telah terangkat. “Tidak pernah senyenyak ini, apalagi kalau kau berada disampingku.”

Ben tersenyum tipis. “Tawaranku untuk mengajakmu tinggal di penthouseku masih berlaku, Georgie,” ujarnya.

“Oke,” jawabku sambil mengangguk pelan.

“Oke?” Mata Ben membesar ketika menanyakan itu. “Tanpa perlawanan?” tanyanya. “Tidak seperti biasanya kau bilang, ‘aku bisa tinggal sendiri dan aku bisa melakukan semuanya sendiri’,” jawab Ben sambil meniru kata-kataku.

Aku mencubit lengannya dan dia berteriak pelan. “Apakah kau ingin aku mengatakan semua itu? Aku akan mengatakannya dan tentu saja melakukannya kalau kau ingin. Aku sama sekali tidak keberatan tinggal diapartmentku sendiri.”

Ben menarik tubuhku, merangkulku dengan erat. “Aku akan menjadi laki-laki paling bahagia didunia ini kalau kau ingin tinggal bersamaku,” bisiknya, dan aku bisa merasakan semua kata-katanya, kalau dia benar-benar tulus mengatakannya.

Tanpa dapat kutahan aku tersenyum.

“Anggap saja ini pelajaran untuk nanti kalau kita tinggal bersama,” tambah Ben.

Wajahku memerah dalam sekejap. Pelajaran nanti kalau kita tinggal bersama? Maksudnya… kita benar-benar akan tinggal bersama? Aku tidak bisa menahan diri untuk tidak memukul punggung Ben sekeras mungkin karena dia sukses membuatku berpikiran yang tidak-tidak.

“Aw! Aw!” teriak Ben kesakitan, berusaha melepaskan dirinya dariku karena serangan-serangan yang kuberikan padanya. Hah! Rasakan saja. Salahnya siapa membuatku berpikiran yang tidak-tidak sepagi ini! Aku tersenyum ketika puas menyalurkan rasa jengkelku padanya.

Ben yang sekarang berada disudut tempat tidur memegang punggungnya kesakitan. Dia menggeleng pelan sambil menatapku tidak setuju. “Kau benar-benar suka menyiksa orang, Georgia Sanders!” teriaknya, lalu segera melompat kearahku dan menyerangku dengan gelitikan pada perutku.

Aku berusaha sekuat mungkin untuk mendorongnya menjauh dariku karena gelitikannya itu bisa membunuhku. Dia menyerangku pada letak yang tepat, perut bagian samping selalu menjadi area paling sensitif pada tubuhku. “Stop, Ben!” teriakku berusaha menghentikannya, memegang tangannya agar berhenti menggelitik perutku. “Stop!” teriakku sekali lagi, mulai kehabisan nafas karena terlalu banyak tertawa dan sensasi aneh pada tubuhku.

“Oke, oke,” ujar Ben beberapa saat kemudian, tampak kehabisan nafas juga karena dia tertawa terbahak-bahak merasakan penderitaanku.

Dia menghempaskan tubuhnya diatas tempat tidur, dan aku menghempaskan tubuhku disampingnya, tepat didalam diatas tangannya yang kuat. Ben merangkul tubuhku dari samping, menatapku beberapa saat, sambil memainkan rambutku. Pandangannya tidak lepas dari mataku, dan pandanganku tidak pernah lepas darinya. Aku bisa melakukan ini seumur hidupku. Sungguh.

Single Daddy's StoryTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang