Chapter 25 - Take A Chance, Make A Change & Breakaway

108K 5K 200
                                    

Chapter Twenty Five – Take A Chance, Make A Change & Breakaway

Aku tidak sadar sudah berapa lama aku mulai menangis. Itu… air mata itu keluar begitu saja setiap kali mengingat bahwa dia sudah tidak ada disisiku. Bahwa Benjamin Parker tidak ada disisiku. Bahwa sekarang aku sendirian. Without him.

Ben hanya pergi selama beberapa jam yang lalu dan aku sudah sangat kangen padanya. I miss him. So bad it hurts. Aku ingin mencium bibirnya yang lembut, ingin mendengarkan suaranya yang selalu menenangkanku, ingin melihat matanya yang indah, dan ingin mencium aroma tubuhnya. Aku tidak peduli aku terdengar seperti maniak atau apapun. Aku hanya menginginkannya. Aku hanya ingin dia.

DAMN IT, GEORGIA!!

Aku mengingatkan diriku sekali lagi kenapa aku harus berpisah dengannya, dan itu yang terbaik untuk kita berdua. Aku seratus persen menyesal dengan keputusan yang kuambil, tetapi paling tidak aku yang menyesal, bukan Benjamin Parker. Aku tidak tega melihatnya menyesal dengan keputusan yang akan dia ambil, aku tidak tega melihatnya kehilangan Savy hanya karena mempertahanku. Aku… aku hanya tidak bisa…

Aku membenamkan wajahku diatas tempat tidurku, berusaha meredam rasa sakit ini. Ini sakit. Ini terlalu sakit. Kukira setelah semua masalah tentang papa dan mama selesai, semuanya selesai. Tidak ada masalah lagi dan aku bisa hidup dengan tenang, dengan Ben dan Savy disampingku, tentu saja. Tetapi itu tidak.

“Takdir sepertinya selalu punya cara yang lucu,”

Aku mengingat kata-kata Ben saat kita bertemu dengan Austin. Aku mendengus kesal. Takdir memang selalu mempunyai cara yang lucu. Dan keji. Dan gila. Aku lebih baik mati kalau seperti ini. Aku. Aku tidak tahu. Aku menjambak rambutku, membiarkan rasa sakit pada akar-akar rambutku mengambil alih rasa sakit dihatiku.

Ponselku tiba-tiba berdering, dan aku mengambilnya dari saku celananya. Aku butuh pengalih perhatian sekarang. Aku melihat Sierra menelponku dan aku merasa bersyukur. Aku segera mengangkat telponnya, membiarkannya berbicara terlebih dahulu.

“Georgia? Halo?” tanya Sierra ragu-ragu.

Aku hanya terdiam, tidak sanggup berbicara apa-apa karena aku takut dia tahu kalau aku sedang menangis sekarang. Aku tidak ingin membuatnya panik, atau tiba-tiba mendatangi rumah Ben karena dia mengira aku disakiti oleh Ben, padahal tidak. Aku yang menyakiti Ben. Aku terlalu sering menyakiti Benjamin Parker.

Pikiran itu membuatku ingin menangis sekali lagi.

“Ben menelponku dan memberitahuku semuanya,” ujar Sierra pelan, menghembuskan nafas panjang.

Mendengar nama Ben membuatku tidak bisa menahan diri. Aku menangis lagi.

“Aku akan segera kesana. Tunggu aku,” kata Sierra kemudian, lalu menutup sambungan telpon.

Aku mengangguk pelan walaupun aku tahu Sierra sudah menutup telponnya. Aku sangat berterima kasih memiliki dia disisiku selama ini. Dia bukan tipe orang yang suka basa-basi, dan selalu bertindak ketika diinginkan. Aku membencinya karena itu. Dia selalu melakukan semuanya dengan sempurna, sedangkan aku? Aku adalah pengacau dan selamanya akan menjadi pengacau. Aku membuat kedua orang tuaku meninggal. Aku pernah membuat sahabat terbaikku marah padaku. Aku memutuskan hubunganku dengan laki-laki yang paling mencintaiku didunia.

Aku tidak yakin esok hari aku akan lebih baik.

Aku juga tidak yakin keesokan harinya lagi, aku akan merasa lebih baik.

Atau keesokan harinya. Keesokan harinya lagi. Keesokan harinya lagi…

Aku menggeleng pelan, berusaha membuang pikiran itu.

Single Daddy's StoryTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang