Chapter 11 - Kill me now, please?

132K 6.5K 148
                                    

Chapter Eleven – Kill me now, please?

Aku menaruh kartu masukku kesensor pada pintu penthouse Ben. Aku membuka pintu, dan berusaha terdengar seoptimis mungkin dan berteriak, ‘Selamat Pagi’ seperti biasanya. Yeah, walaupun aku tahu tidak pernah ada yang membalas kata-kataku.

Ben keluar dari kamarnya, sama seperti biasanya. Sudah berpakaian, lengkap dengan tas kerja ditangannya. Dia sama sekali tidak menatapku. Itu membuatku sangat marah, apalagi dengan kejadian kemarin. Oke. Dimana perempuan itu? Siapa perempuan itu? Dia pasti pacar baru Ben!

Dams, dia sangat cantik dan muda. Kau tidak akan pernah bisa mengalahkannya, Georgia! Apalagi kau sudah menyia-nyiakan kesempatanmu waktu itu. Aku memukul kepalaku sendiri, merutuk frustasi.

“Hei, aku pergi kerja dulu,” katanya sambil membenarkan arlojinya, sama sekali tidak berniat untuk menatapku, membuatku makin geram. Dia keluar dari penthouse dengan segera.

Tanpa banyak berpikir, aku segera mengikutinya, keluar dari penthousenya. Dia menatapku terkejut ketika melihat kehadiranku. Aku menatapnya penuh tekad dan aku tidak ingin dia kabur lagi kali ini. Kemarahanku sudah memuncak kepadanya. Dia seperti pengecut yang tidak berani berhadapan muka padaku. Dan aku benci dengan pengecut, apalagi orang itu adalah Benjamin Parker. Benjamin Parker seharusnya bukan pengecut!

“Ada apa?” tanyanya pelan, terlihat tenang.

“Kau bertanya ada apa?” tanyaku kesal. “Kau yang ada apa!” teriakku marah, menunjuk dadanya dengan jariku. “Kenapa kau tidak menganggapku sama sekali selama ini?” teriakku kesal, hampir menangis, tetapi aku menahan diri untuk tidak menangis.

Dia terdiam, tidak menjawab pertanyaanku. Namun aku bisa melihat matanya menggelap, dan tubuhnya menjadi intens. Rahangnya mengatup keras, dan pandangannya terkunci padaku, menungguku untuk berbicara lagi.

“Apa semua karena ciuman itu? Apakah kau marah padaku karena aku menolak ciumanmu-“

Oh hell!” Akhirnya dia membalas, ikut berteriak memeriahkan suasana bersamaku. Aku yakin kemarahannya sedang memuncak sekarang. “Jangan pernah ungkit-ungkit masalah itu lagi dihapadanku. Oke? Apa kau tidak tahu betapa malunya aku setiap kali aku melihatmu setelah kejadian itu? Aku hendak mencium perempuan yang sudah punya pacar! Aku tidak punya muka berbicara denganmu!”

God, stop make everything so complicated, Ben!” teriakku frustasi. “Kau hanya perlu berbicara padaku! Kau tidak perlu menghindariku sampai sebulan!” teriakku, sesuatu dalam diriku ingin memberitahunya kalau aku dan Austin sudah putus, namun aku menahan diri. Waktunya tidak tepat.

“Aku tidak menghindarimu,” jawabnya pelan.

Fuck it!” teriakku kesal. “Tidak menghindari apa? Kau menghindariku! Kau selalu menjauh dariku seolah-olah kau tidak tahan melihat mukaku! Kenapa tidak sekalian saja kau memecatku? Lagian kau sudah punya pacar baru yang kau bawa kemarin sore! Kenapa tidak suruh dia saja untuk menjaga Savy? Dengan senang hati aku keluar dari tempat ini! Kau hanya perlu mengatakan itu padaku!”

Matanya menggelap ketika aku selesai berbicara. “Aku pergi dulu,” desisnya berbahaya, lalu membuka pintu lift dibelakangnya, tanpa menoleh lagi kebelakang. Ketika lift terbuka, dia masuk kedalamnya dan membuang muka dariku.

Aku menghela nafas panjang ketika pintu lift tertutup. I feel so awesome right now. Tinggal menunggu dipecat olehnya. Aku bertepuk tangan sarkastik untuk diriku sendiri, tapi setidaknya itu benar. Aku sudah mengatakan semuanya padanya, walaupun aku merasa sedikit bersalah karena menyangkutkan perempuan kemarin. Well, tapi perempuan itu salah satu penyebab emosiku terpancing untuk berbicara pada Ben.

Single Daddy's StoryTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang