Bab 27 : Kenyataan Pahit

72 5 0
                                    


Ini bukan sekedar tugas namun ini kewajiban.

Semenjak berkiprah di OSIS, kehidupanku berubah drastis bukan berubah seperti power ranger, biasanya aku selalu dapat tidur siang namun sekarang tidak.

Biasanya aku pulang di jam normal namun sekarang tidak.

Biasanya aku selalu dapat menghabiskan waktu ataupun bertukar cerita dengan makhluk curut atasanku namun sekarang tidak.

Iya, memang benar, jika dia kini selalu berada disisiku namun rasa hangatnya untukku terasa tidak tampak.

Dia seakan menjauh seperti saat ini, membiarkan aku bingung dengan mendung yang ia ciptakan tanpa ku tau alasannya.

"Rey, makan siang bareng?" tawarku seperti biasa namun ia balas singkat dengan jawaban basi yang selalu aku benci.

"Enggak Van, Makasi."

Aku pun melenggang pergi namun sesuai perkiraanku, Michael telah berjalan bersisian denganku tak lupa ia menyampirkan tangannya dibahuku,

"Vanesya, gue temenin lo, bolehkan?"

"Silahkan," aku berusaha mempercepat langkahku dengan alibi untuk menghindari Michael dan menggapai meja paling pojok diantara Meymey dan Delwish.

"Maaf guys, gue lama banget," sesalku kepada dua teman karibku namun sekilas ku lihat wajah Meymey nampak kecut begitu melihat Michael duduk disampingku.

Sialan, kutahu bahwa Meymey menyimpan rasa pada Michael, 

Namun,

 aku gak pernah ngerti kenapa akhir akhir ini Ia sering bersamaku tanpa pernah aku menginginkannya.

"Van, lo mau makan apa? biar gue pesenin,"tawar Michael seperti biasa yang membuat aku ingin menenggelamkan diri, Astaga, siapapun itu bantu gue?

"Gue bisa sendiri, thanks." Moodku seakan hancur dan memilih meninggalkan kantin menuju rooftop Smansa Wijaya, begitu banyak masalah yang bermuculan dan membuatku bingung saat ini, dan aku akan menyelesaikan satu persatu masalah yang bermuculan saat ini.

"Agas..." kulihat Agas tengah berdiri, wajahnya memang tampan dan nampak tenang tetapi ku yakin dibalik itu banyak masalah yang ia hadapi sejak terakhir kali aku lihat ia seminggu yang lalu.

"Hmm, kamu masih ingat aku?" alis tebalnya terangkat dengan bibir pink yang kini mengepulkan asap tembakau yang paling aku benci.

"Ya..kemana saja lo seminggu terakhir ini?"

"Apa pedulinya kamu, kamu lebih peduli sama Reyhan,"sunggingnya dengan puntung rokok yang telah ia sulutkan ke tanah.

"Bukan begitu, yasudahlah kalau lo gak mau ngomong, apa pentingnya juga hidup gue di hidup lo,"

"Kebalik Van, lo itu seseorang yang terpenting di hidup gue,"Agas menatapku lekat lekat, dengan kepribadiannya yang kini sudah berubah secepat kentut Veandra menjadi seperti semula. 

"Tapi, tingkah lo itu udah nunjukin cara buat gue mundur," sambung Agas dan dengan cepat aku mebalasnya.

"lo gak bisa nyalahin tingkah gue, tanyain sama hati lo karena lo cuman suka sesaat sama gue bukannya cinta, maka dari itu.. lo belum bisa ngerti gue."

Agas bergeming dan aku menghembuskan nafasku dalam dalam,"Agas...Cinta itu gak bisa dipaksakan, kalau kita jodoh, kita akan ketemu."

"Dari sini gue ngerti, kode lo keras juga ya," Agas mengambil alih percakapan dengan nadanya yang dingin, "lo sayang gak sama gue?" 

Jujur, pertanyaan ini lebih susah daripada soal fisika. Keheningan menyergap diantara kami beberapa saat, namun ku dengar langkah kaki Agas mendekat ke arahku dengan posisi punggungku yang kini sudah membentur tembok.

"Jawab Van!" perintahnya dingin dan dengan keyakinan penuh aku pun angkat bicara.

"Sayang lo sebagai teman," sekerjap aku melirik tampang Agas yang telah nampak muram, tapi inilah kenyataanya.

Agas mengalihkan pandangannya dan kembali melayangkan pertanyaan sesak lainnya,"Kenapa gak lo bilang dari awal?"

"karena gue takut lo sakit hati, gue gak mau orang lain sakit hati karena gue."

sepersekian detik aku menghitung bahwa kali ini manusia tinggi menjulang bermata biru akan memuntahkan amarahnya kepadaku, baiklah, siapkan mentalmu Vanesya!

"Thanks, lo udah ngajarin gue gimana susahnya orang sabar," dan ternyata jauh dari perkiraanku.

Ia pasrah

Raganya memang utuh

Namun hatinya hancur

inilah kenyataan yang lebih pahit daripada ekspektasi.

"lo emang bener Van, disini gak ada yang salah,"Agas menepuk bahuku  dengan senyum yang ia paksakan.

"Gue minta maaf udah nambah masalah masalah di hidup lo saat ini,"sambungnya lebih tajam daripada belati.

"Enggak apa, maafin gue juga, teman?" sautku tersenyum lega.

"Iya, kita teman."Balas Agas tersenyum hangat dengan dirinya yang lebih dulu meninggalkanku dengan kenangan manis yang tidak pernah kita ukir.

Bersambung


Violent RevealTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang